Nampaknya ada hasrat kuat yang terpendam. Hasrat kekuasaan, yang sayangnya hendak diraih lewat perpecahan bangsa. Devide et impera, pecah belah lalu kuasai.
Setelah berkuasa, lalu apa? Lalu bancakan (korupsi). Apa lagi?
Bisa dibungkus dengan jubah agama. Untuk kemudian melakukan persekongkolan jahat (kolusi dan nepotisme). Yaitu politik dinasti atau politik perkoncoan yang memperkosa meritokrasi serta menginjak-injak akal sehat. Pengkhianatan demokrasi sejati.
Bukankah pelajaran ini sudah kita alami berpuluh tahun di era rejim Orba? Di era Reformasi pun tidak ketinggalan. Rejim Mangkrak sudah meninggalkan banyak situs-situs candi berkarat yang jadi saksinya.
Apakah kita mau mengulanginya lagi? Tentu tidak. Keledai pun tidak jatuh dua kali di lobang yang sama bukan.
Maka sebaiknyalah kita semua merenungkan kembali, semangat yang dulu dengan amat luar biasa dipekikkan: Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928.
Putra-putri Indonesia, mari tinggalkan sumpah serapah, ganti dengan argumentasi cerdas. Bangun dialektika yang progresif revolusioner. Revolusinya Mental Bangsa Indonesia.
Jangan biarkan bangsa yang besar ini terdegradasi dengan narasi dan aksi murahan yang hanya demi memuaskan libido kekuasaan oknum-oknum yang haus kekuasaan. Yang memperalat kaum muda.
Ingat-ingatlah, lewat semangat Sumpah Pemuda 1928 dulu kita akhirnya mampu mendeklarasikan kemerdekaan (independence) di tahun 1945. Perjalanan panjang penuh perjuangan.
Namun tugas belum selesai, kewajiban kita selanjutnya adalah program pembebasan (freedom). Pembebasan dari kebodohan, dari kemiskinan dan perpecahan yang konyol.
18/10/2020