*Adu Argumentasi Politik: Jangan Sampai Terjerumus dalam Sesat Pikir*
Oleh: *Andre Vincent Wenas*
Memang belajar logika itu tak kenal batas waktu. Senantiasa kita akan berisiko jatuh dalam salah satu model sesat pikir (logical fallacy). Entah itu karena terjebak emosi (suasana hati), atau terseret oleh kepentingan tertentu.
Kepentingannya bisa macam-macam, yang karenanya seseorang bisa sangat emosional dan akibatnya kehilangan logika. Bisa saja lantaran pemujaan terhadap figur atau objek tertentu, jadinya seperti pemberhalaan (idolatry), begitulah kira-kira.
Jadi apa pun yang dianggap mengkritisi atau 'menyenggol' apa yang diberhalakan itu maka tersulutlah emosi. Akibatnya cara pandangnya pun jadi seperti berkacamata kuda. Membabi buta, jadi tidak cerdas alias bodoh. Menyeruduk kesana-kemari laksana banteng luka digoda matador hanya dengan secarik kain merah.
Terlebih dalam dunia (atau diskursus) politik praktis, dimana keterikatan (attachment) terhadap figur maupun instansi (partai) cenderung lebih pekat. Sehingga 'keterikatan' semacam ini malahan lebih menumbuhkan proksimitas atau kedekatan emosional ketimbang penalaran intelektual yang kritis.
Dari banyak jenis sesat pikir, paling tidak ada dua 'logical-fallacy' yang paling sering terjadi dalam diskursus politik praktis, entah itu di medsos maupun di warung kopi. Keduanya adalah: 'Argumentum ad hominem', dan sesat pikir 'straw-man' atau 'red-herring' (ignoratio elenchi).
Pertama, argumentum ad hominem. Ini adalah sesat pikir yang terjadi tatkala Siti dan Harun beradu argumen, si Siti bukannya membantah Harun dengan argumen tandingan yang masuk akal melainkan  menyerang pribadi si Harun.
Ada dua tipe Argumentum ad Hominem: Argumentum ad Hominem Tipe I (abusive) dimana argumen langsung menyerang pribadinya, dengan melecehkannya.
Argumentum ad Hominem Tipe II (sirkumstansial): Ini lebih menitikberatkan hubungan antara keyakinan seseorang dan lingkungan hidupnya, atau pada kepentingan pribadinya. Misalnya: suka/tidak-suka, kepentingan kelompok/luar-kelompok, dan soal yang berkaitan dengan suku, agama, ras, dan antar golongan.
Contohnya. Harun berkata, "Siti, Lihatlah si Mamat sekarang sudah jadi buronan polisi, bagaimana kalau kita telaah kasusnya lebih mendalam, siapa saja yang terlibat ya?" Lalu direspon oleh Siti, "Ah, dasar sirik aja loe Har, pendapat orang sirik mana bisa dipakai." Atau misalnya, "Ah dasar keturunan Cina kau, mana bisa dipakai pendapatmu!"