Oleh: *Andre Vincent Wenas*
Apa-apa mesti dikaitkan soal agama, itulah Indonesia kita. Sampai untuk urusan menolong sesama manusia mesti ditanya dulu, apa agamamu?
Begitu sibuknya bangsa kita dengan urusan agama, sampai kita merasa perlu untuk punya satu lembaga di tingkat kementerian yang spesialisasinya mengurusi soal agama. Kementerian Agama!
Lalu, kalau bangsa ini dalam kesehariannya amat sangat disibukan dengan urusan berbau agama, pertanyaannya apakah soal peri kemanusiaan yang adil dan beradab sudah jadi karakter kita? Apakah solidaritas dalam kehidupan berbangsa yang kompak sudah berlaku?
Lalu apakah tata kehidupan berdemokrasi kita sudah diselenggarakan dengan jujur dan bermartabat? Kemudian, apakah keadilan sosial bagi seluruh rakyat sudah terdistribusi secara luas dan merata, dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Pulau Rote?
Ini adalah pertanyaan oto-kritik bagi kita semua yang telah mendeklarasikan Pancasila sebagai dasar negara dan sekaligus cita-cita ideal bersama.
Memang betul bahwa Indonesia bukanlah negara agama, dan tidak boleh jadi negara agama lantaran realitas kebhinekaan adalah fakta sejarah kita.
Tapi kita pun sudah mengakui bahwa walaupun Indonesia bukan negara agama kita berketetapan bahwa bangsa kita adalah bangsa yang berketuhanan.
Dengan berketuhanan kita semua sama-sama percaya bahwa kehidupan kita sebagai manusia tidak selesai di liang kubur. Ada pertanggungjawaban, ada konsekuensi di alam baka nanti. Dan konsekuensi seperti apa yang mesti ditanggung amat tergantung pada apa yang telah kita lakukan terhadap sesama manusia semasa menjalani kehidupan bersama.
Apakah kita sudah menjalani tata kehidupan bersama sebagai bangsa selama masa hidup dengan etika kebangsaan, dalam tatanan moral kehidupan bersama dengan berbudaya dan beradab?
Kehidupan yang bermoral, berbudaya dan beradab. Tidak liar, atau buas dengan memaksakan kehendak sendiri, yang akhirnya hanya berujung pada konflik horisontal. Homo homini lupus, manusia adalah serigala bagi manusia lainnya.