Mohon tunggu...
Andre Vincent Wenas
Andre Vincent Wenas Mohon Tunggu... Konsultan - Pelintas Alam | Kolomnis | Ekonomi | Politik | Filsafat | Kuliner
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Pelintas Alam | Kolomnis | Ekonomi | Politik | Filsafat | Kuliner

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Penumpukan Utang BUMN, Kritik Adian Napitupulu dan Progres Restrukturisasi

28 Juni 2020   03:50 Diperbarui: 28 Juni 2020   04:17 865
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

*Penumpukan Utang BUMN, Kritik Adian Napitupulu dan Progres Restrukturisasi*

Oleh: *Andre Vincent Wenas*

Pertama-tama kita hargai kritik yang disampaikan Adian Napitupulu (anggota DPR-RI dari Fraksi PDIP) soal tumpukan utang BUMN yang katanya sebesar Rp 5.600 tiliun itu.

Angka itu katanya diperoleh dari beberapa sumber, sayangnya tak disebutkan sumbernya dari mana saja, dan apakah angka hasil  konsolidasi teraudit atau belum.

Namun demikian, kritik yang sehat akan membangun sikap waspada untuk selalu bebenah diri. Dan itu baik adanya.

Sementara itu, staf khusus Menteri BUMN Arya Sinulingga menyampaikan dengan yakin bahwa utang usaha BUMN adalah Rp 1.500 triliun. Katanya itu data terbaru, walau tidak dijelaskan seberapa baru dan apakah angka teraudit atau belum.

Kedua sumber angka utang BUMN itu, yang dari Adian maupun Arya, nampaknya tidak jelas validitasnya.

Bagai gayung bersambut, kritik Adian itu memperoleh tanggapan serius dari staf khusus Menteri Keuangan Yustinus Prastowo. Disampaikannya bahwa berdasarkan laporan tahun 2019 total utang BUMN adalah Rp 6.070 triliun. Lebih besar memang, namun itu termasuk catatan 'utang' (dana pihak ketiga) di unit-unit bank BUMN sebesar Rp 2.842 triliun.

Sehingga yang disebut utang usaha BUMN adalah sebesar Rp 3.228 triliun. Penyampaian Yustinus nampaknya lebih meyakinkan, juga disebutkan per catatan pembukuan 31 Desember 2019. Jadi posisi waktu keuangan jelas.

Perdebatan soal angka yang akurat bagi kita hanyalah soal koordinasi saja. Namun yang ingin kita soroti lebih jauh adalah soal pemahaman utang usaha BUMN itu sendiri. Bagaimana kita memahami soal penumpukan utang ini?

Kita ambil contoh kasus di salah satu unit BUMN. Belum lama ini PT Krakatau Steel Tbk (KRAS) menuntaskan program restrukturisasi utangnya yang fantastis, US$2,2 miliar atau sekitar Rp 30 triliun.

Upaya restrukturisasi ini kabarnya telah dilakukan sejak akhir 2018 dan baru tuntas di awal 2020. KRAS memperoleh skema keringanan tenor dan bunga kredit sehingga beban KRAS makin ringan. Melalui  restrukturisasi utang ini KRAS bisa berhemat US$ 685 juta (sekitar Rp 9,3 triliun).

Pertanyaannya bagaimana sebuah perusahaan BUMN bisa punya utang dengan nilai yang begitu fantastis?

Dari penjelasan Direktur Utama KRAS Silmy Karim, ada beberapa indikasi. katanya utang ini sebagian besar untuk menutupi investasi perusahaan di masa lampau. Dimana terjadi mismatch antara investasi dan realisasi business plan-nya. Investasinya besar, tapi sayang tidak menghasilkan keuntungan seperti diharapkan. Kenapa?

Kata Dirut Silmy, "Jadi, kalau ditanya utang buat apa, ya satu buat investasi, tetapi investasi tersebut tidak menghasilkan tambahan penjualan dan juga keuntungan. Kemudian ada pembayaran utang menggunakan utang. Mismatch lah."

Posisi utang yang menumpuk tentu saja makin membebani neraca keuangan perusahaan. Bayar utang dengan utang baru, begitu terus selama bertahun-tahun.

Gali lubang untuk tutup lubang, tapi celakanya lubang yang dibikin pengurus lama sudah terlalu besar, sehingga utang baru pun tidak cukup lagi.

Dirut Silmy pernah bilang, bahwa kebutuhan investasi perusahaan yang ia maksud porsi terbesarnya untuk investasi pembangunan pabrik blast-furnace. Disinyalir nilainya mencapai Rp 10 triliun.

Anehnya, atau sayangnya setelah konstruksi beres dan pabrik mulai beroperasi, manajemen perusahaan memutuskan untuk menghentikan operasi pabrik. Alasannya biaya operasionalnya kemahalan. Lho kok?

Jadi singkat kata, pengembalian (return) investasinya tidak maksimal, tidak sesuai rencana bisnis, atau bahkan hancur berantakan. Konyol memang.

Sampai di sini kita semua mahfum, bahwa yang namanya 'proyek' atau belanja modal (capex) di BUMN itu kabarnya sering jadi sumber bancakan berjamaah.

Untuk memahami lebih gamblang soal struktur utang di banyak BUMN lainnya, sebaiknya kita menilik segala informasi yang dideklarasikan dalam laporan keuangan teraudit.

Sederhananya, struktur utang perusahaan dalam neraca (balance-sheet) dapat dipilah menjadi: utang jangka pendek dan utang jangka panjang.

Pertama, utang jangka pendek.

Dalam keterangan utang jangka pendek kita cermati lebih dalam soal working-capital (modal kerja) dan kewajaran dalam perhitungan kebutuhannya.

Modal kerja dihitung dari perputaran omset (revenue) dengan cycle (siklus) pembelian bahan baku (raw materials) yang masuk ke inventory. Lalu proses produksi, menjadi finish-goods (barang jadi) masuk ke inventory juga. Kemudian ada tagihan (account receivables).

Apabila terjadi penumpukan di dalam komponen-komponen di atas maka secara operasional terindikasi ada inefisiensi. Ini patut ditelaah labih jauh lagi.

Misalnya, jika produksi lancar maka pembelian bahan baku akan cenderung tinggi. Namun jika terjadi penumpukan barang-jadi di gudang, maka mesti dicari penyebabnya, apakah ada masalah delivery (pengiriman), atau masalah lainnya?

Atau bisa juga inventory barang-jadi sudah rasional (setara satu bulan penjualan), namun terjadi jumlah tagihan yang tinggi. Hal ini juga mesti diteliti lebih lanjut. Kenapa ada tagihan yang tinggi?

Karena bisa saja penjualan tersebut terjadi kepada 'related parties' (pihak-pihak terkait) yang rawan disalahgunakan. Karena ini bisa dijadikan 'free-working-capital' bagi 'related parties' tadi. Subsidi modal kerja gratis kepada pihak terkait. Ada indikasi KKN di sini!

Kedua, utang jangka panjang.

Soal kredit investasi. Seperti contoh proyek blast-furnace di KRAS yang idle (mangkrak) dan dibiarkan bertahun-tahun. Akibatnya terjadi akumulasi loan (utang).

Padahal, dalam kasus seperti ini seharusnya dilakukan cut-off. Atau dibuatkan subsidiary terpisah, khusus untuk mengelola proyek mangkrak tadi sampai beres. Sehingga ada konsentrasi dan fokus.

Manakala proyek selesai dan berjalan baik serta menghasilkan kinerja positif, barulah dikonsolidasikan kembali ke perusahaan induk. Cara ini akan memberi gambaran lebih baik (sehat) dalam neraca dan laporan laba-rugi (profit and loss) perusahaan induknya.

Pembentukan investment-committee (komite investasi) juga bisa dipertimbangkan. Fungsinya untuk pengambilan kebijakan moratorium investasi. Komite-investasi ini yang mengevaluasi dan memberi persetujuan capex (belanja modal) tahunan. Hal ini demi menghindari tambahan utang dan beban bunga yang eksesif.

Sementara untuk investasi (capex) yang besarannya tidak signifikan bisa langsung diputuskan oleh dewan direksi. Alternatif pembiayaannya pun bisa diupayakan pola pinjaman lunak, misalnya saja lewat export credit agency (ECA).

Yang selalu mesti diingat bahwa prinsip berutang dalam suatu usaha adalah untuk keperluan pertumbuhan (growth). Karenanya manajemen perusahaan harus menjaga rasio utangnya terhadap modal (debt to equity ratio/DER) yang sehat. Misalnya 70 banding 30. Tujuh puluh persen utang dengan modal sendiri 30 persen.

Aspek 'debt service coverage ratio' juga diperhatikan, yaitu kemampuan menyicil utang dan bunga dari produktivitas perusahaan. Jangan sampai jebol, berutang hanya untuk bayar utang. Bisa jadi lingkaran setan nantinya. Maka berutang harus selalu dengan sikap prudent (hati-hati).

Akhirnya, kita bisa saja curiga bahwa tumpukan utang di grup BUMN adalah lantaran dari banyaknya skandal proyek (capex) maupun operasional (opex) di masa lalu. Sudah proyeknya di-mark-up, utangnya pun dibelokan (side-streaming) ke pundi-pundi perkoncoan. Alias korupsi berjamaah.

Proyek itu akhirnya tidak produktif atau malah mangkrak. Akibatnya jadi beban makin berat. BUMN pun terseok-seok jalannya diganduli utang yang bejibun.

Untuk itulah Menteri Erick Thohir sedang merestrukturisasi postur dan model-bisnis BUMN. Sekaligus mereposisi para komandan lapangan (komisaris dan direksi)nya.

Kita hanya mau bilang, maju saja terus dengan program 'Bersih-Bersih BUMN'. Jadikan kritik Adian Napitupulu soal utang BUMN sebagai caveat (peringatan dini) untuk melanjutkan progres restrukturisasi. Lebih cepat, lebih baik.

Pangkas tumor (benalu)nya, bakar lemaknya (duplikasi dan birokrasi gemuk), sambil terus memperkuat ototnya (sinergi antar BUMN).

Kalau ada yang menggerecoki, sikat saja!

28/06/2020

*Andre Vincent Wenas*,DRS,MM,MBA., Sekjen 'Kawal Indonesia' -- Komunitas Anak Bangsa

Sumber: 1 2


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun