Mohon tunggu...
Andre Vincent Wenas
Andre Vincent Wenas Mohon Tunggu... Konsultan - Pelintas Alam | Kolomnis | Ekonomi | Politik | Filsafat | Kuliner
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Pelintas Alam | Kolomnis | Ekonomi | Politik | Filsafat | Kuliner

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Indonesia Negara Mafia? Persekongkolan Merampok Negara, Lawan!

26 Mei 2020   16:29 Diperbarui: 17 Oktober 2020   18:05 2001
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

*Indonesia Negara Mafia? Persekongkolan Merampok Negara, Lawan!*

Oleh: *Andre Vincent Wenas*

Banyak program atau inisiatif pembangunan bangsa yang mandiri habis diberangus oleh persekongkolan para mafia. Macam-macam mafia yang ada di Indonesia. Bisa ditilik dari aktivitasnya maupun dari komoditi bisnisnya.

Dari aktivitas ekonominya ada mafia impor, juga ekspor. Dari komoditi atau area garapannya, mulai dari mafia-migas, mafia-tanah, mafia-bawang, mafia-gula, mafia-pengadilan, mafia-pupuk, mafia-batubara (mafia-tambang), mafia-jagung, mafia-garam, mafia-alkes, mafia-farmasi/obat, mafia-saham, mafia-bola, dan lain-lain.

Kalau mafia ekspor biasanya mereka yang ngotot untuk mengekspor komoditi dalam bentuk mentahan. Ini kerap terjadi di komoditi pertambangan, dengan enggan membangun smelter, dll. Misalnya kasus Freeport dulu, lalu nikel yang baru-baru ini ramai juga, adalah sekedar beberapa contoh saja. CPO adalah contoh di agroindustri.

Para mafia ekonomi inilah yang mengendalikan ekonomi-hitam. Apa itu ekonomi hitam? Itu adalah ekonomi yang mengacaukan sistem perekonomian yang sehat. Perekonomian yang sehat adalah sistem perekonominan yang bisa memberi manfaat sebesar-besarnya bagi rakyat (efisien/murah/terjangkau dan efektif/fungsional) serta tidak terdistorsi sistem perpajakannya (kewajiban pada negara). Ekonomi mafia ini yang membuat level-of-playing-field perekonomian menjadi asimetris. Itulah duduk persoalannya.

Celakanya, dalam prakteknya, ekonomi mafia ini mampu mengkooptasi berbagai sumber kekuasaan (source of power) seperti pejabat di eksekutif, legislatif dan yudikatif. Mereka sangat lincah bergerak di level nasional maupun di pelosok daerah.

Bahkan dalam suatu diskusi terbatas, ada rekan yang pernah mengeluhkan soal kejamnya mafia-bawang putih misalnya. Katanya pernah ada kelompok tani yang mencoba menanam sendiri dalam jumlah yang cukup signifikan, namun mendekati panen lahannya dirusak oleh oknum tak dikenal. Apakah kebenaran kabar ini sahih atau tidak, ya wallahualam, kita sendiri tidak jelas.

Namun kalau melihat hukum supply-demand yang sederhana saja plus kecocokan lahan di Nusantara ini kok komoditi seperti bawang bukanlah sesuatu yang sulit untuk ditanam. Bahkan tongkat kayu pun bisa jadi tanaman, begitu ujar Koes Plus dulu. Demand (permintaan pasar)nya ada, lahannya ada dan cocok, bibitnya dan petaninya pun ada. Jadi apanya yang salah?

Sekedar informasi, selama ini kita masih terus mengimpor bawang putih besar-besaran dari Tiongkok.  Produksi lokal bawang putih cuma sekitar 39 ribu ton. Konsumsinya sekitar 500 ribu ton. Defisit besar sekali. Selama ini kita memang mengimpor lebih dari 90% kebutuhan bawang putih kita, mayoritas (seluruhnya?) dari Tiongkok.

Cengkeraman para mafia-ekonomi ini memang kejam, dan sangat egoistis. Apa pun yang bisa menghalangi potensi keuntungan sepihak bagi mereka akan dibabat habis.

Untuk mafia kelas konspirasi global sila baca buku John Perkins, 'Confessions of an Economic Hit Man' (2004), yang bercerita tentang bagaimana Indonesia telah 'dijual' sejak rejim orba kepada para saudagar global. Tapi untuk saat ini kita fokus saja dulu di area komoditi lokal yang telah bertahun-tahun dibancaki oleh para mafia Indonesia sendiri dan para kompradornya.

Untuk komoditi jagung, Kementan bilang produksi nasional 29 juta ton (?), konsumsinya sekitar 15,5 -- 17 juta ton. Mestinya khan surplus 12 -- 13,5 juta ton (?) Tapi ini laporan data yang aneh, lantaran kenyataannya kita toh masih impor hampir 600 ribu ton jagung. Mungkin perlu dipilah mana jagung yang dikonsumsi orang, dan mana yang untuk pakan ternak. Sehingga datanya jelas. Ketidak jelasan data inilah yang juga jadi ajang bermain para mafia ekonomi.

Daging sapi/kerbau. Supply lokal 422.533 ton. Konsumsinya sekitar 707.150 ton per tahun. Kita masih defisit cukup besar, sekitar 40%, jadi masih mesti impor. Entah dalam bentuk daging potong atau bakalan. Jangan lupa dulu ada petinggi PKS yang tercokok lantaran kasus impor daging ini.

Kilang-kilang penyulingan minyak (industri migas) juga kabarnya tidak pernah bisa terealisasi demi kemandirian bangsa terhadap kebutuhan energi lantaran terus menerus dihalangi oleh ulah para mafia migas.

Sekarang, sejak kejatuhan Hin Leong, trader migas terbesar di Asia yang berpusat di Singapura baru-baru ini, ada peluang besar untuk sekalian membongkar sindikat mafia-migas Indonesia. Percepatan pembangunan kilang-kilang penyulingan minyak bisa digas-pol-kan.

Gegara pandemi Covid-19 ini sedikit banyak 'berjasa' juga untuk menyingkap praktek busuk para mafia-ekonomi ini. Roda perekonomian global yang sedang rehat mendadak bikin banyak trader seperti Hin Leong jumpalitan. Cerita kasusnya bisa dibaca di artikel sebelumnya yang berjudul '*Skandal Besar Trader Singapura, Akankah Menyeret Mafia Migas Indonesia?*'.

Kemandirian nasional di komoditi gula pun sudah jadi cerita klasik yang sudah berumur hampir setengah abad. Begitu terus berulang kali. Dengan gaya yang 'halus' para mafia-gula ini terus menerus merasionalisasikan alasan-alasan tentang betapa sulitnya dapat lahan tebu.

Kemampuan produksi gula lokal kita diprediksi sekitar 2 juta ton. Sedangkan konsumsi nasional sekitar 6,6 juta ton. Defisitnya besar sekali. Maka mesti impor, dalam bentuk gula jadi atau gula mentah (untuk dirafinasi). Sayangnya industri gula rafinasi yang awalnya dimaksudkan sebagai 'industri-sementara' sampai saat swa-sembada gula nasional terwujud kembali. Namun apa lacur, swa-sembada gula masih jauh panggang dari api. Ulah siapa ini? Siapa lagi coba.

Dulu kala kita sempat jadi produsen dan eksportir gula terbesar kedua di dunia setelah Kuba. Sekarang kita jadi salah satu importir gula terbesar di dunia. Prestasi yang memalukan.

Asosiasi petani tebu berdasi sejauh ini rasanya lebih berperan sebagai kaki-tangan (komprador) para mafia-gula. Mereka kerap jadi centeng terdepan untuk bikin ulah pengalihan isu terus menerus. Parlemen, atau tepatnya oknum-oknum di parlemen pun aji mumpung dengan manisnya rayuan sindikat mafia-gula ini. Entah lantaran kebutuhan koleksi dana partai atau apa, tidak jelas memang. Semua remang-remang, karena memang keremangan adalah habitatnya para mafia.

Sebetulnya ada beberapa komoditi pangan lain yang signifikan juga. Misalnya kedelai, terigu, garam, dll. Juga komoditi yang berhubungan dengan pangan, misalnya pupuk, pestisida, bibit, dll. Bahkan sampai ke sektor olah-raga, ada mafia-bola yang ikut mengatur kemana bola bundar itu mesti bergulir. Olah-raga bercampur dengan olah-dadu alias judi. Terlalu! ...aku melarat karena judiii...

Baru-baru ini Menteri Erick Thohir juga mengangkat isu mafia alat kesehatan (alkes) dan farmasi (obat-obatan). Ini juga masalah yang bukan baru, kabarnya juga sudah bertahun-tahun berkelindan dengan oknum di Kementerian Kesehatan, Ikatan Dokter, asosiasi rumkit dan tentu saja dewan perwakilan rakyat dan instansi penegak hukum. Wallahualam.

Ada lagi mafia-narkoba yang selentingan beritanya mengabarkan mereka erat hubungan gelapnya dengan penguasa-penguasa partai politik dan penjaga keamanan sebagai patronnya. 

Praktek pencucian uang kerap difasilitasi oleh kekuatan politik tertentu, supaya dana-politik bisa tetap mengalir deras. Politik yang dibiayai oleh uang haram hasil praktek kotor seperti ini jelas menjalankan politik kotor pula. Itu sudah karmanya.

Di belakang praktek mafia-ekonomi memang ada tokoh-tokoh (individu) tertentu yang mengendalikan operasi di belakang layar. Mereka yang boleh dibilang sutradara dari operasi bancakan besar-besaran ini. Namun mereka tidak bekerja sendiri. Jejaring atau tentakel mereka ada di setiap instansi. Komprador-komprador inilah yang ikut menikmati (aji mumpung) dan oleh karenanya ikut 'memproteksi' para mafia ekonomi ini. Simbiose-mutualisme dalam proses pembusukan (corruptio) bangsa ini.

Struktural dan sistematis sekali proses pembusukannya. Juga sangat massif, kontaminasinya dari luar, dari dalam, dari tengah, dari pinggir, dari atas dan juga dari bawah. Mereka beroperasi seperti karet busa yang bisa menyerap aspirasi ketamakan aparat di instansi mana pun. Benteng pertahanan moral/akhlak aparat terus menerus dibombardir dengan meriam berlaras ganda dengan amunisinya: fulus dan mulus.

Belum lagi ditambah dengan praktek curang transfer-pricing yang ilegal. Sudah berapa ratus trilyun negara dirugikan. Sehingga kalau dipikir-pikir, akumulasinya mungkin sudah puluhan ribu trilyun kerugian negara akibat konspirasi para mafia perekonomian ini.

Gambaran sketsa ini memang muram dan mengerikan. Para mafia itu juga tak segan-segan untuk menghabisi karir politik maupun karir profesional mereka-mereka yang tak bisa bekerja sama dalam skenario jahatnya. Bahkan sampai 'menghilangkan' orang pun bisa terjadi. Contoh kecilnya lihat saja DPO (daftar pencarian orang) yang sampai sekarang tidak jelas kabar beritanya. Ada yang bilang sudah dibunuh lah, masih terus dicari lah, dan berbagai karangan cerita lainnya.

Lalu apakah kita mesti menyerah, pasrah dan jadi apatis? Tentu saja tidak. Hanya satu kata, lawan!

Bagaimana melawannya?

Pertama-tama, ke dalam kita masing-masing (diri sendiri) mesti terus semangat dan terus membangun daya kritis. Lalu ke luar kita beri dukungan moral dan dukungan politik kepada para pemimpin yang (relatif) bersih dan yang sedang berupaya membersihkan praktek-praktek kotor para mafia perekonomian ini. Jelas ini bukan pekerjaan mudah. Bahkan sangat berisiko, bahkan nyawa pun dipertaruhkan.

Terus tumbuhkan kesadaran politik bangsa, untuk nanti memilih pemimpin dan partai politik yang sungguh amanah. Jangan mau lagi terbuai, dan jangan pernah memberhalakan organisasi/ partai politik.

Memang partai politik itu penting karena faktanya lewat partai politiklah penggalangan kekuasaan diraih. Tapi partai politik sangat tergantung pada konstituennya, yaitu kita rakyat Republik Indonesia.

Dalam sistem demokrasi kita selalu ada kesempatan untuk pergantian kepemimpinan lewat pemilihan umum (presiden, gubernur, bupati/walikota dan anggota dewan perwakilan rakyat/ parlemen). Jangan sampai kita buta politik lagi. Kenali partainya, kenali pula aktor-aktornya.

Akhirnya, adalah tugas para cendekiawan, mereka yang sadar politik bersih untuk tidak kenal lelah mencerdaskan bangsa. Rakyat yang cerdas adalah kekuatan ultimate suatu bangsa yang merdeka.

Terus penuhi ruang publik dengan pencerahan, informasi kritis, dan spirit untuk tidak menyerah. Lawan hoaks dan pembodohan publik. Jangan serahkan Indonesia ke tangan para penjahat ekonomi, Indonesia bukan terserahnya para mafia itu.

Nasib Indonesia itu terserah pada kita. #IndonesiaBangkit melawan mafia ekonomi.

26/05/2020

*Andreas Vincent Wenas*, Sekjen 'Kawal Indonesia' -- Komunitas Anak Bangsa


Sumber:

dokpri
dokpri

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun