Untuk mafia kelas konspirasi global sila baca buku John Perkins, 'Confessions of an Economic Hit Man' (2004), yang bercerita tentang bagaimana Indonesia telah 'dijual' sejak rejim orba kepada para saudagar global. Tapi untuk saat ini kita fokus saja dulu di area komoditi lokal yang telah bertahun-tahun dibancaki oleh para mafia Indonesia sendiri dan para kompradornya.
Untuk komoditi jagung, Kementan bilang produksi nasional 29 juta ton (?), konsumsinya sekitar 15,5 -- 17 juta ton. Mestinya khan surplus 12 -- 13,5 juta ton (?) Tapi ini laporan data yang aneh, lantaran kenyataannya kita toh masih impor hampir 600 ribu ton jagung. Mungkin perlu dipilah mana jagung yang dikonsumsi orang, dan mana yang untuk pakan ternak. Sehingga datanya jelas. Ketidak jelasan data inilah yang juga jadi ajang bermain para mafia ekonomi.
Daging sapi/kerbau. Supply lokal 422.533 ton. Konsumsinya sekitar 707.150 ton per tahun. Kita masih defisit cukup besar, sekitar 40%, jadi masih mesti impor. Entah dalam bentuk daging potong atau bakalan. Jangan lupa dulu ada petinggi PKS yang tercokok lantaran kasus impor daging ini.
Kilang-kilang penyulingan minyak (industri migas) juga kabarnya tidak pernah bisa terealisasi demi kemandirian bangsa terhadap kebutuhan energi lantaran terus menerus dihalangi oleh ulah para mafia migas.
Sekarang, sejak kejatuhan Hin Leong, trader migas terbesar di Asia yang berpusat di Singapura baru-baru ini, ada peluang besar untuk sekalian membongkar sindikat mafia-migas Indonesia. Percepatan pembangunan kilang-kilang penyulingan minyak bisa digas-pol-kan.
Gegara pandemi Covid-19 ini sedikit banyak 'berjasa' juga untuk menyingkap praktek busuk para mafia-ekonomi ini. Roda perekonomian global yang sedang rehat mendadak bikin banyak trader seperti Hin Leong jumpalitan. Cerita kasusnya bisa dibaca di artikel sebelumnya yang berjudul '*Skandal Besar Trader Singapura, Akankah Menyeret Mafia Migas Indonesia?*'.
Kemandirian nasional di komoditi gula pun sudah jadi cerita klasik yang sudah berumur hampir setengah abad. Begitu terus berulang kali. Dengan gaya yang 'halus' para mafia-gula ini terus menerus merasionalisasikan alasan-alasan tentang betapa sulitnya dapat lahan tebu.
Kemampuan produksi gula lokal kita diprediksi sekitar 2 juta ton. Sedangkan konsumsi nasional sekitar 6,6 juta ton. Defisitnya besar sekali. Maka mesti impor, dalam bentuk gula jadi atau gula mentah (untuk dirafinasi). Sayangnya industri gula rafinasi yang awalnya dimaksudkan sebagai 'industri-sementara' sampai saat swa-sembada gula nasional terwujud kembali. Namun apa lacur, swa-sembada gula masih jauh panggang dari api. Ulah siapa ini? Siapa lagi coba.
Dulu kala kita sempat jadi produsen dan eksportir gula terbesar kedua di dunia setelah Kuba. Sekarang kita jadi salah satu importir gula terbesar di dunia. Prestasi yang memalukan.
Asosiasi petani tebu berdasi sejauh ini rasanya lebih berperan sebagai kaki-tangan (komprador) para mafia-gula. Mereka kerap jadi centeng terdepan untuk bikin ulah pengalihan isu terus menerus. Parlemen, atau tepatnya oknum-oknum di parlemen pun aji mumpung dengan manisnya rayuan sindikat mafia-gula ini. Entah lantaran kebutuhan koleksi dana partai atau apa, tidak jelas memang. Semua remang-remang, karena memang keremangan adalah habitatnya para mafia.
Sebetulnya ada beberapa komoditi pangan lain yang signifikan juga. Misalnya kedelai, terigu, garam, dll. Juga komoditi yang berhubungan dengan pangan, misalnya pupuk, pestisida, bibit, dll. Bahkan sampai ke sektor olah-raga, ada mafia-bola yang ikut mengatur kemana bola bundar itu mesti bergulir. Olah-raga bercampur dengan olah-dadu alias judi. Terlalu! ...aku melarat karena judiii...