*Kalau LHKPN itu Wajib, Mengapa Ada yang Belum Setor?*
Oleh: *Andre Vincent Wenas*
Penting gak sih pejabat publik mengisi LHKPN? Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara. Iya penting, dan wajib! Kenapa?
"Setiap negara dibangun di atas kekuasaan." Begitu kata Leon Trotsky saat berada di Brest-Litovsk. Lalu disambung dengan pernyataan Lord Acton yang terkenal itu, "Power tend to corrupt, and absolute power corrupt absolutely."
Ini bukannya menuduh para penyelenggara negara (eksekutif, legislatif, yudikatif) itu pada korup lho... ndak, sama sekali bukan. Itu hanyalah caveat, semacam peringatan dini untuk sama-sama mencegah jangan sampai aib itu terjadi.
Maka kalau begitu mesti ada dong mekanisme kontrol yang bisa mencegah KKN itu terjadi. Atau paling tidak bisa diminimalisir seminim mungkin. Apa itu?
Transparansi! Salah satunya adalah LHKPN disamping mekanisme kontrol lainnya. Seperti misalnya transparansi anggaran (khususnya APBD), audit publik, laporan pertanggung-jawaban, dll.
Untuk itu dibuatlah pendasaran hukum bagi LHKPN di UU No. 28/1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
Ada lagi, UU No.30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Lalu turunannya, Peraturan KPK No. 07/2016 tentang Tata Cara, Pendaftaran, Pengumuman, dan Pemeriksaan LHKPN. Lengkap sudah.
Itu semua dimaksudkan agar para penyelenggara negara melaporkan dan mengumumkan harta kekayaannya. Dan nantinya masyarakat bisa ikut mengawasi. Bagaimana caranya?
Cuma 3 tahap: pertama, e-registration (para wajib lapor mendaftar/mengisi data diri secara elektronik). Lalu kedua, e-filing (proses pengisian laporan harta kekayaan serta dokumen pendukung). Dan ketiga, e-announcement (LHKPN itu diumumkan di media yang telah ditentukan seperti Berita Negara, website KPK, dan laman lainnya).
Iya, tadinya LHKPN, sekarang sudah jadi e-LHKPN( tambah huruf E). Jadi bisa diakses kapan saja (24 jam) dan bisa dari mana saja (around the world).
Setelah tahap ketiga (e-announcement) maka masyarakat luas juga bisa dan boleh mengakses informasi itu. Sehingga proses pengawasan sosial bisa berjalan. Terbuka dan transparan. Keren khan?
Sebagai contoh.
Di website KPK misalnya, terlihat informasi DPRD mana saja yang sudah melaporkan dan belum melaporkan LHKPN. Kita ambil sampel dari Provinsi dan kabupaten/kota di Sulawesi Utara.
Untuk LHKPN tahun 2019, data yang tersedia (diakses tgl.5 Mei 2020 jam 23.00). WL = Wajib Lapor; BL = Belum Lapor; TK = Tingkat Kepatuhan. Ternyata ada yang sudah 100% beres, tapi ada juga yang belum, padahal tenggat waktunya 30 April 2020 lalu sudah lewat. Padahal itu setelah perpanjangan waktu lantaran Covid-19.
Data LHKPN untuk DPRD di wilayah Sulut:
Prov.Sulut, WL 45, BL 10, TK 77,78%
Kab.BolMong, WL 30, BL 0, TK 100%
Kab.BolSel, WL 20, BL 0, TK 100%
Kab.BolTim, WL 21, BL 5, TK 76,19%
Kab.BolmUt, WL 20, BL 0, TK 100%
Kab.Kep.Sangihe, WL 25, BL 0, TK 100%
Kab.Kep.Sitaro, WL 20, BL 0, TK 100%
Kab.Kep.Talaud, WL 25, BL 0, TK 100%
Kab.Minahasa, WL 35, BL 0, TK 100%
Kab.MinSel, WL 30, BL 0, TK 100%
Kab.MiTra, WL 25, BL 0, TK 100%
Kab.MinUt, WL 21, BL 1, TK 96,77%
Kot.Bitung, WL 30, BL 10, TK 66,67%
Kot.Ktmobagu, WL 25, BL 0, TK 100%
Kot.Manado, WL 40, BL 14, TK 65%
Kot.Tomohon, WL 20, BL 1, TK 95%
(Diakses tgl.5 Mei 2020 jam 23.00)
Berdasar data laporan di laman KPK itu masyarakat bisa ikut 'membantu mengingatkan' lagi, dan lagi, kepada para wakilnya (DPRD) di Prov.Sulut (77,78%), Kota Manado (65%), Kab.BolTim (76,19%) dan Kota Bitung (88,67%) bahwa Tingkat Kepatuhan mereka masih terbilang rendah. Sementara di Kab.MinUt dan Kota Tomohon ada smasing-masing atu wakil rakyatnya yang belum patuh.
Tanyalah kepada para wakil rakyat itu, ada apa? Apa yang bisa kami bantu?
Itu demi kebaikan bersama. Bukan untuk mencari kesalahan (karena kesalahannya sudah jelas, belum setor), tapi untuk memperbaikinya dengan segera. Itu saja.
Kalau saja masyarakat di seluruh daerah di Indonesia ini bisa ikut berpartisipasi aktif dalam proses pengawasan yang sebetulnya sangat sederhana ini, tentu proses-proses politik di negeri ini akan jauh lebih berkualitas lagi. Kontrol sosial akan lebih hidup dan efektif.
Kita semua mesti membiasakan diri untuk mulai menggunakan Tingkat Kepatuhan LHKPN ini sebagai salah satu faktor penting dalam evaluasi kinerja para penyelenggara negara.
Karena memang kegunaan LHKPN ini adalah juga sebagai instrumen pengelolaan SDM. Seperti mengangkat atau mempromosikan seseorang. Selain sebagai instrumen untuk mengawasi harta kekayaan penyelenggara negara, instrumen akuntabilitas untuk mempertanggungjawabkan kepemilikan harta kekayaannya.
Maka, kalau LHKPN itu wajib, mengapa ada yang belum setor?
06/05/2020
*Andreas Vincent Wenas*, Sekjen 'Kawal Indonesia' -- Komunitas Anak Bangsa
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H