Hmmm... mungkin juga. Untuk sementara kita catat dulu saja.
Argumentasi dari rekan-rekan yang pro mencetak uang baru sekarang juga cukup kuat: karena likuiditas dalam negeri lagi seret, dan likuditas luar negeri juga sama sulitnya. Jadi, untuk kepentingan survival sementara ini, cetak duit dan bagikan ke rakyat sebagai BLT.
Boleh saja. Sekali lagi, kita tidak anti terhadap cetak uang baru. Hanya perlu diatur pace dan level-nya.
Berapa banyak cetak duitnya? Banggar DPR-RI bilang Rp 400 -- 600 trilyun, ada yang usul Rp 1000 trilyun, bahkan Gita Wirjawan bilang perlu sampai Rp 4000 trilyun. Masing-masing tentu dengan perhitungan dan argumentasinya. Yang jelas masing-masing melihat dari perspektifnya.
Mereka meyakinkan juga bahwa dalam masa darurat pandemi Covid-19 ini, kebijakan cetak uang ini juga dilakukan oleh AS (kabarnya sudah mencetak US$ 2,3 trilyun, setara Rp 40 ribu trilyun). Begitu pula Jepang, Tiongkok dan Inggris. Jadi cetak duit bukanlah hal yang aneh di masa darurat seperti ini.
Dari titik pandang lain, bahwa Bank sentral AS (The Fed) bisa melakukan kebijakan cetak duit sekaligus membeli surat utang pemerintah sebanyak-banyaknya. Itu lantaran US dollar selama ini dipegang oleh seluruh dunia, sehingga risiko inflasinya kecil atau bahkan hampir tidak ada.
Jadi memang lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya. Konteks US Dollar (juga Yen, Renminbi serta Poundsterling) dengan Rupiah memang beda. Kondisi risk-management-nya juga beda.
Kita bukan anti cetak duit baru. Kita hanya ingin ekstra hati-hati, jaga kesimbangan supply-demand. Sambil juga cari alternatif lain. Dalam keadaan bokek biasanya kita baru sadar untuk mencari dan mengumpulkan duit lama kita yang tercecer di laci, di mobil, di rak buku, yang dipinjam ipar, dll.
Di situlah relevansi dana WNI yang masih diparkir di LN. Kalau itu bisa ditarik untuk dimasukan kembali dalam perputaran ekonomi nasional akan sangat membantu. Bahkan lantaran jumlahnya sangat besar, bisa jadi solusi cepat. Atau katakanlah hanya 50% nya saja dari Rp 11 ribu trilyun, jumlahnya sudah Rp 5500 trilyun. Hanya memang masalahnya lebih ke soal-soal berbau politis kronis.
Menggelontorkan duit baru ke sistem bukanlah suatu pantangan. Hanya saja tinjauannya mesti seimbang antara sisi demand, supply dan distribusi. Ekuilibrium ekonomi dan moneter inilah yang kita lihat selalu dijaga mati-matian oleh Menkeu dan Gubernur BI.
Menkeu Sri Mulyani juga mengakui bahwa bisa saja pemerintah cetak uang, asalkan sudah dihitung cermat terlebih dahulu supply -- demand-nya. Jangan sampai uang beredar banyak tapi produksi (supply) barang tidak ada. Bisa-bisa inflasi tidak terkendali lagi.