Mohon tunggu...
Andre Vincent Wenas
Andre Vincent Wenas Mohon Tunggu... Konsultan - Pelintas Alam | Kolomnis | Ekonomi | Politik | Filsafat | Kuliner
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Pelintas Alam | Kolomnis | Ekonomi | Politik | Filsafat | Kuliner

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Ketoprak ala Politisi-Partai di Tengah Wabah Covid-19

29 April 2020   19:45 Diperbarui: 29 April 2020   19:56 382
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

*Ketoprak ala Politisi-Partai di Tengah Wabah Covid-19*

Oleh: *Andre Vincent Wenas*

Para koruptor hendaknya jangan pernah berpikir untuk bisa bersembunyi di belakang prahara Covid-19. Memperalat prahara ini sebagai pengalih isu untuk beli-waktu, sembari memancing di air keruh.

Apalagi sebagai dalih memaksa-maksa pemerintah untuk 'fokus' menangani bencana virus Corona. Seolah-olah heroik, padahal sedang menebar racun heroin.

Tak usah dipaksa-paksa memang pemerintah pusat sudah jauh lebih serius kok mengupayakan penanggulangannya. Dibanding mereka yang cuma sibuk nyinyir sambil nyolong.

Akhirnya toh satu per satu terbongkar juga. Ketua DPRD Muara Enim baru saja terciduk KPK lantaran korupsi uang suap proyek. Namanya Aries HB, kader partailah dia. Ia kongkalikong dengan Ramlan Suryadi, Plt Kepala Dinas PUPR Muara Enim.

Keduanya masuk masa tahanan 20 hari di KPK setelah beberapa kali mengabaikan panggilan, entah sibuk apa.

Ini bukan kasus yang berdiri sendiri. Ini ternyata kelanjutan dari dicokoknya Bupati Ahmad Yani dan Kepala Bidang Pembangunan Jalan Muara Enim Elfin Muhtar dalam OTT KPK sebelumnya.

Semua kasus tadi lantaran pada menelan suap dari pengusaha  kontraktor Robi Okta Fahlevi. Aries HB menelan Rp 3 milyar, Ramlan Rp 1 milyar, Ahmad Yani Rp 12,5 milyar, dan Elfin Muhtar entah berapa. Itu agar Robi bisa kebagian 16 proyek di Kabupaten Muara Enim.

Selain bukan kasus yang berdiri sendiri, kasus ini juga bukan kasus satu-satunya skandal di legislatif (DPRD) dan eksekutif (pemda). Kasus Muara Enim cuma contoh saja. Banyak daerah lain yang juga melakukan praktek menjijikan seperti itu.

Bahwa pengusaha mengorkestrasi konspirasi antara eksekutif dan legislatif bukanlah praktek yang baru. Semua partai juga sudah hafal di luar kepala dengan game-plan beginian.

Lantaran mungkin juga pengusaha-pengusaha itulah yang dulunya menyeponsori mereka semasa kampanye. Untuk beli suara langsung ke rakyat dengan serangan fajar, maupun buat modal menyetir KPU setempat dalam praktek jual-beli suara. Walahuallam.

Ditengarai semua sudah tahu sama tahulah. Selama dosa mencuri Suara Tuhan (Vox Populi Vox Dei) masih tersembunyi di balik batu, maka peran masing-masing dalam drama ketoprakan itu akan terus berlangsung.

Satu episode sandiwara ketoprak itu akan bisa terus ditayangkan asal syaratnya dipenuhi. Apa itu? Syaratnya ya cuma satu: jangan sampai ketahuan!

Dalam pemahaman otak busuk mereka itu yang namanya koruptor itu definisinya hanyalah kalau ketahuan. Selama belum ketahuan ya mereka tetap minta dipanggil dengan sebutan: Yang Terhormat.

Sebuah pertunjukan hipokrisi par-excellence!

Nah kalau toh akhirnya sampai ketahuan dan terbongkar juga, mereka akan segera ganti episode. Yang segera muncul adalah drama ketoprakan bertema  pembelaan diri. Sambil mengutuki si bodoh yang ketahuan tadi. Itu sudah pakemnya.

Suatu episode susulan yang sudah bisa kita terka jalan ceritanya. Ala film romantis Bolywood-lah pokoknya. Gampang ketebak, no surprise at all.

Segera gelar konperensi pers. Bahkan script untuk konpersnya pun sudah standar: "Kami sangat menyesalkan tindakan oknum ini, dan kami pun udah mengusulkan ke DPP Partai untuk memecatnya. Hal seperti ini tidak boleh terulang lagi!"

Dan akan disambung lagi dengan pernyataan klasik, "...partai akan tetap patuh dengan proses hukum yang berjalan. Partai kami tetap berkomitmen untuk menghormati hukum." Cape dehhh....

Tentu saja pesan tadi mesti disampaikan dengan ekspresi muka penuh penyesalan dengan raut yang agak dibikin cemberut atau ekspresi rada marah (supaya sandiwaranya terkesan tegas dan serius).

Pokoknya jalan ceritanya amat sangat sederhana sebetulnya. Cuma jadi rame lantaran dibumbui tari-tarian yang bergemerincing. Begitu artis utama (ketua/petinggi partai) ketemu (kebentur) tiang listrik atau pohon (kasus-kasus), pasti langsung bernyanyi dan menari (konpers dengan syair-syairnya yang standar tadi).

Setelah musik dan tari-tarian (konpers) yang selalu over-dramatis itu berlalu, maka alur cerita akan kembali datar. Biasa-biasa lagi. Business as usual.

Entah sampai kapan ketoprakan ala politisi-partai seperti ini akan terus berlangsung? ...penontonnya sih sudah muak.

Jadi apa nih resolusinya? ...sampai saat ini kita masih mau terus menyemangati KPK, Kejaksaan dan Polri untuk terus mengusut, membongkar dan memberantas konspirasi jahat seperti ini.

Jangan jeda dengan alasan Covid19. Karena jelas bagi oknum-oknum itu pandemi ini cuma sekedar alat pengalihan isu.

Lanjutkan!

29/04/2020

*Andreas Vincent Wenas*, Sekjen 'Kawal Indonesia' -- Komunitas Anak Bangsa

Sumber: [1] [2] [3]  

Dokpri
Dokpri

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun