*Makan Hot-Dog, Nasi-Kucing/Anjing, Rawon-Setan dan Minum Bir-Pletok*
Oleh: *Andre Vincent Wenas*
Menjelang Paskah kemarin beredar di media sosial gambar yang menarik. Yesus diilustrasikan sebagai korban Covid-19 yang sedang diturunkan dari salib oleh para petugas medis lengkap dengan APD-nya.
Komentar dari kalangan penganut Kristen pun beragam. Ada yang biasa-biasa saja, ada yang tersinggung (katanya ini penghujatan). Namun ada juga yang terharu, katanya ini kontekstual, semiotika yang indah, paralel dengan semangat Injil Matius 25 ayat 40 dan/atau 45.
Ayat 40, "...Aku berkata padamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku." Sedangkan ayat 45 adalah versi negatifnya.
Begitulah interpretasi simbol/bahasa. Pesan/gambar yang sama, dikirim lewat media sosial bakal diterima oleh penerima pesan dengan kapasitas penafsirannya masing-masing.
Penafsiran yang tentu sangat tergantung dari 'field of experiences' dan 'frame of references' dari masing-masing penerima pesan/ simbol itu. Bisa saja berbeda-beda, maka sikap-tindaknya pun jadi beragam. Begitulah dinamika komunikasi.
Manusia itu disebut juga 'animal rationale' (makhluk yang berpikir). Berpikir/ logos itu berpangkal pada istilah 'logon ekhoon'. Artinya, perbuatan atau isyarat, inti sesuatu hal, cerita, kata, atau susunan. Logos itu menunjuk pada manusia yang sedang mengatakan atau menyusun sesuatu tentang dunia yang mengitarinya.
Bahkan Prof. C.A. van Peursen mengatakannya dengan lebih dramatis lagi, "...pengetahuan tentang hidup sehari-hari tak dapat digambarkan lepas dari bahasa. Dalam setiap kata dilahirkan sesuatu rasa heran."
Lalu lanjutnya, "Dalam kata-kata, manusia, barang-barang dan peristiwa-peristiwa memperoleh bentuknya yang dinamis, yang tak pernah bulat selesai, yaitu selama suara manusia meraba-raba dan memeteraikan barang-barang, selama mulut kanak-kanak berulang kembali mengumandangkan penemuan-penemuan bahasa." (C.A. van Peursen, 'Orientasi Di Alam Filsafat', terjemahan Dick Hartoko, Cetakan ke-6, Gramedia, Jakarta, 1991).
Atau pengungkapan ala William Shakespeare yang puitis banget, "What's in a name? that which we call a rose. By any other name would smell as sweet." Cieee... coba katakan ini pada gebetanmu yang nomor tiga deh...