Mohon tunggu...
Andre Vincent Wenas
Andre Vincent Wenas Mohon Tunggu... Konsultan - Pelintas Alam | Kolomnis | Ekonomi | Politik | Filsafat | Kuliner
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Pelintas Alam | Kolomnis | Ekonomi | Politik | Filsafat | Kuliner

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Per-Empu-an, dari Ratu Shima sampai Rasuna Said

21 April 2020   18:30 Diperbarui: 21 April 2020   22:03 731
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi olah pribadi - Gambar berbagai sumber

*Per-Empu-an, dari Ratu Shima sampai Rasuna Said*

Oleh: *Andre Vincent Wenas*

Jika kira-kira separuh jumlah penduduk adalah pria, maka separuhnya lagi pasti perempuan. Tidak terlalu sulit khan untuk memahami potensi besar masing-masing gender ini?

Diskriminasi gender memang ternyatalah merugikan progres umat manusia itu sendiri. Sama seperti diskriminasi ras, kepercayaan, atau kategorisasi primordialistik berdasar fanatisme sempit lainnya.

Ketika salah satu gender tersubordinasi (umumnya gender perempuan) selalu saja sejarah melahirkan tokoh-tokoh perlawanan atau pembebasan atau pencerahannya. Tentu dengan caranya masing-masing, kontekstual selaras dengan historisitasnya.

Misalnya di abad ke-18 dengan terjadinya ledakan karya-karya feminis seputar revolusi Amerika dan revolusi Perancis. Disusul abad berikutnya dengan gerakan yang katanya lebih terorganisir untuk memperjuangkan hak politik kelas menengah. Menyusul kemudian di awal abad ke-20 dengan mobilisasi besar-besaran yang memperjuangkan hak pilih bagi kaum perempuan, bersamaan dengan reformasi industri dan sipil di era progresif Amerika Serikat.

Semangat emansipasi itu pun sebetulnya sudah lama ada di kawasan Nusa Antara. Negeri kepulauan di sekat katulistiwa.

Misalnya saja Ratu Shima dari Kerajaan Kalingga (saat ini merupakan wilayah Jawa Tengah). Sang Ratu memerintah selama 60 tahun (670 -  730 M). Figur Ratu yang sadar dan taat hukum, bahkan terhadap keluarganya sendiri ia disiplin menerapkan keadilan hukum.

Hikayat menceritakan, putranya sendiri rela dipotong tangan/kakinya (sesuai hukum berlaku saat itu) lantaran menyentuh kantong emas di alun-alun. Contoh bagi banyak petinggi (perempuan maupun pria) di jaman ini.

Sri Isyana Tunggawijaya adalah Ratu dari Kerajaan Medang. Ia naik tahta pada tahun 947 M. Ratu Isyana menggantikan ayahnya Empu Sindok yang telah memindahkan Istana Kerajaan Medang dari Jawa Tengah ke Jawa Timur. Bersuamikan orang Bali, Sri Lokapala, mereka berputrakan Sri Makuthawangsawardhana.

Banyak ahli sejarah mengatakan bahwa Ratu Sri Isyana Tunggawijaya  adalah pemimpin yang jempolan. Di bawah pemerintahannya kerajaan Medang berkembang maju.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun