Neraca perdagangan itu soal kesimbangan antara ekspor dengan impor. Disebut surplus kalau lebih banyak ekspor, dan defisit saat lebih banyak impornya.
BPS mencatat neraca perdagangan Indonesia di awal tahun (Januari 2020) defisit US$ 870 juta (impor US$ 14,28 miliar vs ekspor US$ 13,41 miliar). Februari 2020, surplus US$ 2,34 miliar (ekspor US$ 13,94 miliar vs impor US$ 11,6 miliar). Maret 2020 surplus US$ 740 juta (impor US$ 13,35 miliar vs ekspor US$ 14,09 juta). Fluktuatif diantara kedua sisi neraca.
Saat tutup tahun lalu neraca perdagangan Indonesia sepanjang 2019 masih mengalami total defisit sebesar US$ 3,2 miliar atau Rp 43,8 triliun. Sedangkan tahun sebelumnya lagi (2018) defisit totalnya mencapai US$ 8,7 miliar (Rp 119,2 triliun).
Jangan salah sangka dulu, impor itu penting, tapi itu untuk komoditi yang memang penting-penting saja. Penting artinya yang memang sungguh dibutuhkan, tidak ada di lokal, atau belum bisa (belum cukup) diproduksi lokal, atau spesifikasi lokal tidak memadai.
Lalu bagaimana prediksi neraca dagang sampai akhir 2020 nanti? Sekjen Kemendag Oke Nurwan pernah bilang, target ekspor tetap dipatok berdasarkan RPJMN 2020-2024. Ditargetkan untuk surplus US$ 300 juta. Dan rencananya bakal jadi surplus sebesar US$ 15 miliar pada tahun 2024 nanti. Mantap! Ini program nasional, program kita semua. Tentu harus didukung.
Tapi ada mafia. Dimana-mana yang namanya mafia itu adalah 'the bad guy'. Para penjahatnya. Kalau ada imbuhan impor jadinya mafia impor. Itu adalah sejenis makhluk yang menghalalkan segala cara untuk keuntungan diri sendiri dengan cara mengimpor apa saja.
Termasuk komoditi yang sudah bisa diproduksi dalam negeri. Atau komoditi yang seyogianya bisa diproduksi dalam negeri dihalang-halangi supaya jangan sampai bisa dibuat, agar mereka tetap dapat mengimpor sepanjang hasrat masih dikandung badan.
Apakah ada mafia ekspor? Iya ada juga. Siapa mereka? Gampangnya mereka itu maunya ekspor dalam bentuk komoditi mentah saja. Biasanya hasil tambang atau pertanian. Tak perlu repot bikin fasilitas pabrik untuk menciptakan nilai tambah. Nanti kalau sudah jadi produk akhir atau semi-finish baru diimpor lagi. Jadi netto-nya ya defisit lagi.
Baru saja menteri BUMN Erick Thohir mengeluhkan soal ketergantungan Indonesia dengan bahan baku dari impor di bidang farmasi dan alat kesehatan. Sebab kemampuan pemenuhan dari lokal saat ini hanya 10%, jadi komponen impornya mencapai 90%. Katanya ini menimbulkan praktik-praktik kotor para mafia.
Ditegaskan lagi oleh Menteri Erick, "Kita yang harus peduli antara bangsa kita. Jangan semuanya ujung-ujungnya duit terus. Akhirnya kita terjebak short term policy (kebijakan jangka pendek). Didominasi oleh mafia-mafia, trader-trader itu. Kita harus lawan dan Pak Jokowi punya keberpihakan itu."
Sebelumnya, akhir tahun lalu, Presiden Joko Widodo juga geram soal mafia migas. Bagaimana tidak mencak-mencak jika mafia migas ini ditengarai telah dan sedang terus merampok negara Rp 1 trilyun setiap bulan!