Sampai-sampai para pelaku machiavellisme ini dicap juga tidak bertuhan. Bahkan penulis bukunya pun, Nicollo Machiavelli, sekaligus dicap atheis. Tapi ini soal lain lagi.
Anehnya, para pelaku machiavellisme inilah yang seringkali malah menghalalkan cara untuk jualan tentang Tuhan, jualan surga dan neraka. Dengan dandanan mode pakaian yang seolah religius, plus dibumbui hapalan ayat-ayat sekadarnya demi impresi.
Padahal pada galibnya Bung Machiavelli waktu itu sedang mewartakan kenyataan. Artinya kebenaran, kalau kita mendefinisikan kebenaran sebagai yang sesungguhnya terjadi, atau kenyataan. Realitas di lapangan politik praktis.
Ia tidak sedang mewartakan yang seharusnya terjadi, atau yang sebaiknya dilakukan politisi. Nantinya itu jadi buku 'Etika Politik' ala Prof.Franz Magnis-Suseno,SJ yang juga seorang rohaniwan alim. Itu buku tentang kebaikan, sebagai kompas yang seharusnya diikuti oleh mereka yang mau jadi politisi yang baik budi pekertinya.
Tapi Machiavelli sedang melaporkan berbagai macam cara yang dilakukan orang untuk meraih kekuasaan dan mempertahankannya. Termasuk bagaimana orang juga bisa kehilangan kekuasaan itu. Apa adanya saja.
Juga ada cerita tentang pentingnya penampilan, pentingnya pembentukan citra. Pentingnya bohong dalam realpolitik. Umbar janji saja dulu, soal realisasi lihat-lihat situasi dulu, mana yang lebih menguntungkan si politisi.
Kalau rakyat mudah lupa, tak usahlah dipenuhi itu janji. Terus saja bikin rakyat pusing dan bingung dengan pencitraan. Tebar pesona kesana-kemari, gunting pita disana-sini, umbar penghargaan sampai hilang maknanya. Plus bagi-bagi sembako sambil menyunat dana bansosnya. Di sini senang, di sana senang, dimana-mana perutku kenyang.
Kata Bryan Magee tentang 'Sang Pangeran'-nya Machiavelli, "Ia sekedar memaparkan hasil pengamatan yang  akurat dengan gaya penulisan yang sangat cemerlang tentang apa yang benar-benar terjadi secara nyata." (The Story of Philosophy, 1998).
Kita boleh saja jadi benci dengan apa yang dilaporkan oleh Machiavelli dalam bukunya itu. Tentang licik dan hipokritnya politisi-penguasa. Memang begitulah seyogianya, sudah semestinya benci. Benci dengan kelakuan bejat seperti yang dilaporkan Machiavelli.
Jadi bagaimana dong?