Tepat sekali. Kita sungguh merasakan ketimpangan-ketimpangan sosial ini adalah akar pahit yang laksana api dalam sekam.
Kita sama-sama tahu, bahwa proses pembangunan membutuhkan kestabilan sosial, atau suasana damai. Bukan damai yang dibuat-buat, atau sekedar artifisial belaka. Tapi perdamaian yang hakiki.
Bapak Koperasi Indonesia, Mohammad Hatta, berargumentasi bahwa demokrasi politik saja tidaklah cukup. Mesti dibarengi dengan demokrasi ekonomi.
Inspirasinya dari peristiwa Revolusi Perancis tahun 1789 yang bersemboyan, 'Liberte, Egalite, Fraternite' (Kemerdekaan, Persamaan dan Persaudaraan).
Bahwa kemerdekaan dan akhirnya demokrasi politik mestilah berpasangan dengan persamaan dan persaudaraan. Kita membacanya dalam konteks keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, dan kemanusiaan yang adil dan beradab.
Artinya, demokrasi politik mesti didampingi demokrasi ekonomi dan semangat solidaritas, rasa cinta kemanusiaan. Tanpa itu, bangsa ini hanyalah menyimpan bara api di dalam sekam.
Paralel pemikiran Paus Paulus VI dengan gagasan Mohamad Hatta. Ini pula yang menjadi tugas utama negara. Tugas aparatus yang mendapat mandat dari rakyat untuk menyelenggarakan administrasi pemerintahan. Di eksekutif, legislatif maupun yudikatif.
Kerja keras untuk mengejawantahkan Pancasila dimulai dari sila yang paling operasional, yakni sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Memberantas ketimpangan-ketimpangan sosial.
Barulah dengan demikian, kualitas demokrasi politik yang tertera dalam sila keempat, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam persmusyawaratan perwakilan, bisa terlaksana dengan bermutu.
Sehingga sila ketiga, persatuan Indonesia, dapat betul-betul terwujud di dalam sanubari rakyat. Tak lagi dihalangi oleh berbagai kecemburuan sosial yang mendekam di bawah sekam.
Kohesivitas bangsa yang bhineka ini bakal kuat. Gerak globalisasi tak akan gampang melunturkan rasa nasionalisme dan identitas kebangsaan ini.