Kejaksaan mulai unjuk gigi, sementara KPK melempem?
Pengamatan kita bersama tidaklah terbatas pada masalah deskripsi atau analisa terhadap lembaga-lembaga sosial, ekonomi dan politik yang ada sekarang. Penjelasan maupun analisanya mesti juga tentang cara bagaimana institusi-institusi itu seharusnya berfungsi.
Kita pun sadar bahwa bagaimana lembaga-lembaga sosial, ekonomi dan politik itu didesain adalah dilatarbelakangi oleh nilai-nilai yang nampak dan mendasarinya serta tujuan-tujuan untuk apa ia dibentuk.
Lembaga seperti KPK misalnya. Ini seyogianya adalah suatu lembaga ad-hoc. Artinya sementara saja sampai keperluannya sudah tidak dianggap urgen lagi.
Fungsi yang dijalankan KPK sementara ini adalah fungsi yang awalnya dilakukan oleh lembaga penegak hukum yang lebih dahulu ada, yaitu Kejaksaan dan Polisi. Merekalah yang punya wewenang investigasi (penyelidikan dan penyidikan) sampai kasusnya  maju ke meja hijau.
Lalu kenapa perlu ada lembaga ad-hoc seperti KPK? Dan sampai kapan ia mesti eksis?
Untuk pertanyaan peratama jawabannya tentu tidak sulit. Komisi Pemberantasan Korupsi dibentuk lantaran praktek mega korupsi di negeri ini demikian parah.
Begitu parahnya sampai lembaga penegak hukum formal yang ada tidak mampu menanganinya. Atau bahkan sudah terkooptasi dalam jaringan mafia koruptor itu sendiri.
Makelar kasus dan berbagai deal (kesepakatan hitam) di kamar-kamar gelap di belakang ruang sidang bukanlah praktek yang asing.
Intinya, hanya ada hukum rimba, siapa kuat kapitalnya dia yang bisa mengatur palu hakim. Sudah kronis dan semakin akut. Maka dibutuhkan kekuatan ekstra untuk melawan mega-korupsi di negeri ini.
Dibentuklah KPK. Di sini tidak perlu diurai kronologi pembentukannya, tinggal berselancar di internet kita sudah bisa tercerahkan.