Setiap keterlibatan kita dalam perkara dunia, dalam keadaan dimana kondisi dunia terjadi, maka itu semua sifatnya politis (demi urusan dan kemaslahatan orang banyak).
Terkhusus pada mereka yang berkutat dalam dunia teologia (ilmu ketuhanan), para alim-ulama, rohaniwan-rohaniwati, pendeta, pastor dan aktivis keagamaan, patut diingat-ingat bahwa setiap sikap etis dan dan keyakinan agama tidak akan pernah bisa menghindar dari yang namanya konsekuensi politis.
Katakanlah seseorang meng-klaim dirinya membela kebenaran (sesuai dengan ajaran keyakinannya), namun tatkala melihat kepalsuan yang terjadi dalam praktek sosial politik, dan ia tidak mengambil sikap maka sejatinya ia telah menyangkal pendirian moralnya sendiri.
Ada juga orang yang mengaku mencintai kejujuran. Jika sungguh demikian, tentunya ia tak akan tinggal diam saat terjadi praktek korupsi yang terjadi di depan matanya. Apalagi terhadap merajalelanya bancakan anggaran di birokrasi pemerintahan. Termasuk jika yang melakukannya adalah saudara, paman, relasi atau teman separtainya.
Setidaknya ia tidak akan bungkam, tidak akan diam. Suarakan posisi moral, berbicaralah. Sampaikan kebenaran. Wacana yang baik perlu dibangun oleh mereka yang baik. Membangun narasi besar yang baik, terus menerus, sampai tindakan dan aksi yang baik terjadi.
Mereka yang terpanggil untuk mengartikulasikan realitas kemasyarakatan dengan jujur sejatinya adalah seorang cendekiawan. Tidak memanipulasinya demi ambisi dan ego sektoral semata.
Akhlaknya berlandaskan kebenaran, kejujuran dan berani menyatakannya. Sebaliknya dari itu adalah golongan cendekiawan yang menyangkal pernyataan moralnya sendiri. Cuma golongan yang cari selamatnya sendiri.
Pertanyaan untuk direnungkan, apakah 'Karya Penyelamatan Umat Manusia' itu bersifat politis?
"Proclaim the truth, and do  not be silent through fear!" -- St.Catherine of Siena
04/03/2020
*Andre Vincent Wenas*, Sekjen *Kawal Indonesia* - Komunitas Anak Bangsa.