Mohon tunggu...
Andre Vincent Wenas
Andre Vincent Wenas Mohon Tunggu... Konsultan - Pelintas Alam | Kolomnis | Ekonomi | Politik | Filsafat | Kuliner
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Pelintas Alam | Kolomnis | Ekonomi | Politik | Filsafat | Kuliner

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Noblesse Oblige

28 Desember 2019   20:36 Diperbarui: 28 Desember 2019   22:50 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

*Noblesse Oblige*

Oleh: *Andre Vincent Wenas*

"Government that limit corruption and put their windfalls to good use rarely face unrest.  Unfortunately, oil production is now rising precisely in those countries where leadership is often in short supply." (Prof. Michael R. Ross, 2008).

***

  Adalah William Wilberforce -- anggota  parlemen/ politikus/ negarawan, pewaris  usaha besar dari kakek dan ayahnya  -- hidupnya didedikasikan bagi perjuangan abolisi perbudakan di Inggris,  hidup di tahun 1759 -- 1833, yang bahkan oleh lawan politiknya (seperti  diceriterakan dalam film Amazing Grace) dikomentari dengan  noblesse-oblige. 

Pertanyaannya, masih adakah sifat/ panggilan/ tanggungjawab agung (noblesse-oblige) di antara para  petinggi dan professional kita? Dia yang memperoleh kedudukan dan kehormatan yang semakin tinggi maka tanggungjawab sosialnya pun semakin besar.

  Tatkala teori Thomas Malthus  (An Essay on the Principle of Population, 1798) menjadi paradigma  ekonomi, di mana keyakinannya adalah: populasi manusia secara alamiah  akan bertumbuh mengalahkan kapasitas tanah yang terbatas untuk  menghasilkan makanan (baca laporan The Economist, May 17th, 2008,  Malthus, the false prophet), maka perilaku yang muncul bisa jadi homo homini lupus gaya Leviathan-nya Thomas Hobbes. 

Manusia adalah serigala  bagi manusia lainnya, noblesse-oblige adalah cuma lamunan di siang  bolong. Walaupun memang perlu diakui juga bahwa tulisan The Economist  itu sangat first-world centric (kurang seimbang dalam perspektif  dunia-ketiga, negara terbelakang).  

Mentalitas melimpahruah adalah  prasyarat noblesse-oblige (sayangnya sering menjadi the road less  travelled),  sedangkan scarcity-mentality adalah jalan tol menuju homo homini lupus.

***

  Adalah kebutuhan dasar manusia untuk  meninggalkan legacy yang agung selama hidupnya di dunia. Pepatah kita  mengajarkan, gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan  belang, dan manusia mati meninggalkan nama (baca: legacy).  Bahkan  sesungguhnya perilaku pengaturan rumah-tangganya (oikos nomos) manusia  terletak dalam konteks relasi sosialnya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun