Khususnya dalam keadaan krisis, ambil keputusan adalah keharusan. Ini memang sulit karena asumsinya sering tidak pasti dan akibatnya bisa cukup fatal.
Tapi ingat, tanpa keputusan tidak akan terjadi apa-apa. 6. Hidup dalam perubahan. 7. Team work. 8. Komunikasi, ciptakan suasana kondusif agar jalur komunikasi dan inovasi terbuka dari segala arah.
Kembali ke kisah penunjukkan Robby Djohan sebagai Dirut Garuda dulu. Hebatnya, Robby Djohan sendiri mengakui tak tahu apa-apa tentang bisnis penerbangan.
Satu-satunya pengalaman yang ia punya adalah jadi penumpang pesawat. Wajar kalau dia rada galau, apalagi melihat utang Garuda saat itu telah mencapai 1,2 miliar USD, lebih besar dari seluruh asetnya.
Dari assesment-nya waktu itu Garuda hanya butuh sekitar 6000 orang karyawan, dan Garuda punya karyawan hampir 13.000. Organisasi terlalu gemuk! Produktivitas karyawan rendah.
Banyak rute kering, sepi penumpang. Citra pelayanan buruk, kerap delay tanpa pemberitahuan. Sampai-sampai Garuda diplesetkan jadi Garuda Always Reliable Until Delay Announced.
Keberanian dan kelihaian negosiasi juga dibutuhkan untuk menghadapi kreditur. Robby Djohan tahu cara memperlakukan debitur-debitur saat mengalami kesulitan membayar.Â
Robby bercerita, "Benar saja, mereka (para bankir) langsung menggebrak, mengintimidasi dengan suara keras, dan mengancam akan menyita pesawat A330 yang disewa." Tapi dengan tenang Robby menjawab: "Saya datang bukan untuk memecahkan masalah saya tapi masalah Anda".
Alasan utama mengapa Garuda kolaps adalah karena bank-bank internasional memberikan pinjaman kepada Garuda yang neraca keuangannya defisit. Dari pengalaman saya selama 30 tahun di bank, saya tidak dapat memahami itu.Â
Dan jika Anda ingin mengambil kembali pesawat Anda, silakan lakukan karena tidak produktif bagi kami." Gertak balik gaya Robby Djohan berhasil.Â
Garuda boleh membayar pinjaman dalam tempo 16 tahun dengan bunga satu persen di atas SIBOR (Singapore Interbank Offered Rate).