Mohon tunggu...
Andrethor
Andrethor Mohon Tunggu... -

Bapak dari dua anak dan suami dari satu istri. Pernah menimba ilmu di tiga perguruan tinggi. Sekarang bekerja sebagai profesional di salah satu perusahaan swasta. Berharap dapat memberi sesuatu untuk Indonesia yang lebih baik.

Selanjutnya

Tutup

Olahraga Pilihan

Dimanakah Semangat Juang Itu?

24 Mei 2014   09:43 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:10 15
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Olahraga. Sumber ilustrasi: FREEPIK

DIMANAKAH SEMANGAT JUANG ITU?

Kepingan yang hilang dari seorang olahragawan...

Awalnya, saat akan menulis artikel ini, aura negatif sedang berkecamuk dalam benak saya. Perasaan kesal, marah, sedih, kecewa...campur aduk. Untunglah saya teringat pepatah “Don’t decide when you’re angry”, kali ini saya ubah sedikit, kata decide saya ganti dengan write. Dengan dua batang rokok dan  berkali kali menarik nafas panjang akhirnya saya bisa menenangkan diri.

Tim Piala Thomas Indonesia tersisih dari Malaysia di semifinal! Uber lebih parah, perempat final! Tim Thomas sebagai unggulan pertama dan berangkat dengan target juara babak belur. Kalah telak 0-3 dari negeri jiran. Tim Uber juga gagal mencapai target semifinal. Keok dengan skor sama dari India. Betapa menyakitkan!!!

Menang kalah adalah dinamika olahraga. Jelas, sebagai orang Indonesia, saya kecewa dan sedih kita kalah. Tapi yang lebih mengecewakan adalah bagaimana cara kita kalah. Mental yang lemah adalah kunci kekalahan kita. Kurangnya semangat juang dan determinasi adalah faktor penentu kegagalan kita.

Saat kalah, baik Thomas maupun Uber, tak satu partaipun kita menangi. Hanya saja dalam tulisan ini, saya akan lebih banyak menyorot partai ke-3, baik Thomas maupun Uber. Mengapa? Karena seharusnya di partai ketiga pemain kita bisa menang, kalau punya mental dan semangat juang yang hebat. Harusnya kita bisa berjaya kalau determinasi yang tinggi ada pada pemain kita. Greysia & Nitya, serta Dionysius secara peringkat dunia adalah jauh diatas lawan mereka. Namun di lapangan, terlihat jelas bahwa mereka tidak dapat lepas dari rasa terbeban. Mengutip komentator Star Sports “Nervous” dan “Don’t have game plan”. Mereka kalah telak 2 game langsung! Tidak perlu pengamat olahraga jenius untuk menyimpulkan bahwa ketidakmampuan mengatasi masalah mental menjadi faktor utama kegagalan mereka.

Bagi yg menonton secara langsung, kita bisa bandingkan antara perjuangan Bella Manuputty dengan Nitya/Greysia apalagi dengan Dionysius. Walau Bella kalah, namun saya tetap merasa bangga, karena dia telah menunjukkan perjuangan yg hebat. Kalah jauh dalam peringkat dunia & berada dalam tekanan penonton, Bella menunjukkan semangat pantang menyerah. Bahkan setelah pertandingan usai pun sempat tertangkap kamera Bella masih menangis (Ada Lindaweni lagi meluk Bella dg wajah yg biasa...tidak terlihat rasa sesal walau kalah telak di partai pertama). Bahkan saat pertandingan semifinal Thomas, saya tidak melihat Bella di barisan pendukung Indonesia (mungkin Bella masih sedih, beda jauh sama Greysia yg sudah asik nge-gadget...lupa kalau dia bermain buruk kemarin harinya...oh iya, bermain untuk kalah di Olimpiade 2012 masih inget nggak ya?). Khusus Dionysius, manusia satu ini kembali gagal mengemban tugas bela negara. Masih jelas dalam ingatan ketika di perempat final Piala Thomas 2012, diapun gagal di partai penentuan. Rexy Mainaky mengatakan bahwa dia melihat Dionysius seperti Alan Budikusuma – from zero to hero. Zero karena jadi biang kegagalan Thomas cup 1992 lalu jadi hero dengan merebut emas Olimpiade. Maaf om Rexy, saya punya pendapat lain. Dion bukanlah Alan dan tak akan pernah jadi seperti Alan.

Pemain Pelatnas bulutangkis Indonesia harus mampu jadi juara! Dan untuk jadi juara butuh mental juara...sekali lagi MENTAL JUARA! Dari perspektif saya, mental juara adalah gabungan dari kekuatan mental, semangat juang dan determinasi. Bisa saja seorang atlet punya kemampuan teknis yang mumpuni, tapi tanpa mental juara, dia hanyalah seorang atlet medioker. Sudah saatnya pemain yang tidak punya mental juara dikeluarkan dari Pelatnas. Pemain Pelatnas bukanlah pemain yang hanya mampu buat kejutan. Pemain Pelatnas  kalau tak sanggup jadi juara, silakan keluar. Ribuan bahkan jutaan anak muda Indonesia menanti kesempatan masuk Pelatnas dan siap menggantikan. Sorry to say, pemain seperti Dionysius, Greysia dan Lindaweni bukanlah seorang juara. Mereka terbukti tidak perform. Mereka tidak sanggup memikul tanggung jawab dan hancur dalam tekanan. Great Athlete Greats in Great Match, and obviously, they are not great athletes. Dionysius sudah sembilan tahun di Pelatnas demikian juga Greysia, sedangkan Linda enam tahun. Waktu yang lebih dari lima tahun dan turun di berbagai ajang bergengsi seharusnya lebih dari cukup untuk mengasah tidak hanya teknis permainan, tetapi juga mental. Namun sampai saat ini, pemain yang disebutkan tadi miskin prestasi. Tanpa gelar bergengsi dalam 3 tahun terakhir dengan fakta terakhir “melempem” di saat menentukan. Bukankah hal itu sudah cukup sebagai tolok ukur? Lalu tunggu apalagi?

Seorang atlet bisa menjadi inspirasi (sesuatu yang gagal diberikan oleh sebagian besar pemimpin kita apalagi selebritis) bagi banyak orang. Bulutangkis, adalah olahraga terpopuler kedua di Indonesia yang secara reguler ditayangkan di  TV, dan ditonton jutaan rakyat Indonesia. Bisa dibayangkan, kalau para pemain yang disebutkan tadi menunjukkan mental baja dan semangat juang yang hebat. Berapa banyak manusia Indonesia yang akan terinspirasi dengan perjuangan mereka. Walau kalah, kata salut akan tetap terucap. Masih jelas dalam ingatan, betapa saya mengapresiasi perjuangan Timnas sepakbola Piala Asia 2007, walaupun mereka tersingkir di penyisihan.

Saya memang bukanlah seorang atlet badminton. Menginjakkan kaki di Pelatnas Cipayung pun belum pernah. Tapi saya adalah rakyat Indonesia yang selalu bayar pajak. Darimana biaya PBSI membina atlet Pelatnas kalau bukan dari pajak? Saya ingin melihat hasil dari pajak tersebut! Saya ingin melihat bangsa ini berjaya! Saya ingin melihat atlet yang bertarung habis - habisan saat bertanding membela kehormatan bangsa. Saya tidak ingin melihat atlet nasional yang “letoy” dan tidak punya fighting spirit. Chong Wei Feng dan Gutta/Phonappa juga memikul beban saat bertanding, tapi dengan mental dan semangat juang yang kuat mereka mampu jadi pemenang.

Saya percaya bahwa kekuatan mental, semangat juang dan determinasi adalah modal dasar bagi seorang atlet. Tugas berat buat PBSI di bawah Pak Gita Wiryawan untuk membentuk karakter pemain yang memiliki hal tersebut lebih dulu sebelum mengasah kemampuan teknis. Bahkan pemilihan pemain yang layak untuk Pelatnas juga harus didasarkan dengan karakter pemain tersebut dan bukan hanya berdasarkan hasil di lapangan. Sebagai penutup, saya menyadur kata-kata Al Pacino dalam film Any Given Sunday: “you may win or you may lose. The point is - can you fight like a man?”.

Jayalah Olahraga Indonesia – Jayalah Republik Indonesia!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun