Mohon tunggu...
Andre Setiawan
Andre Setiawan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Fakultas Hukum, Universitas Jambi

Mahasiswa Universitas Jambi

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Apa Kerjasama Prabowo dan Xi Jinping Dapat Mengutungkan atau Merugikan Negara?

20 November 2024   15:56 Diperbarui: 20 November 2024   16:10 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden Prabowo Subianto dan Presiden Xi Jinping melakukan Jabat tangan di Beijing, China pada Sabtu(9/11/2024) (politicalreview.id)

Pada saat ini tengah gempar-gemparnya permasalahan akan tindakan presiden prabowo subianto, terhadap melakukan perjanjian kerja sama dengan cina salah satunya dikatakan terkait dengan permasalahan akan nine dash line (9 garis putus-putus) yang selama ini menjadi perdebatan terhadap pihak china. Perdebatan ini disebabkan karena Klaim China terhadap Laut Cina Selatan atau yang saat ini dipanggil Laut Natuna Utara, Klaim yang dimaksud ialah pernyataan bahwa wilayah laut cina selatan adalah milik mereka dan mengajukan keberatan beberapa kali.

Namun, pertikaian ini dapat terjadi karena Presiden Prabowo yang menyetujui suatu persetujuan yang tumpang tindih dari permasalahan Laut Natuna Utara yang mana terdapat di dalam perjanjian yang sedang dikerjakan. Tindakan ini sama saja pemerintahan Prabowo mengakui klaim kedaulatan Tiongkok dekat Laut Natuna yang masih merupakan zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia. Kejadian ini sendiri terjadi saat pertemuan Presiden Prabowo Subianto dengan Presiden Xi Jinping yang mana membahas tentang bentuk kerjasama maritim yang mana hal inilah yang menjadi inti permasalahan nya pada Sabtu(9/11/2024).

Pembahasan ini dianggap, dapat membahayakan kedudukan Indonesia atas kepemilikan dari wilayah itu sendiri, selain itu Indonesia sendiri menjadi contoh atas awal mulanya pernyataan sistem kepulauan pada UNCLOS yang mana menjadi tolak ukur terhadap negara-negara ASIA yang lainnya. Atas kejadian ini, dapat membahayakan kedudukan Indonesia kedepannya karna ambiguitas terhadap pernyataan yang seharusnya sudah benar.

selain itu Guru Besar hukum internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana mengkritik pernyataan bersama RI-China usai kunjungan Presiden Prabowo Subianto ke Beijing akhir pekan lalu. dilansir berdasarkan situs berita "Menjadi pertanyaan mendasar apakah yang dimaksud dengan overlapping claims ini terkait klaim sepuluh garis putus oleh China yang bertumpang tindih dengan klaim Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia di Natuna Utara?" kata Hikmahanto. Terdapat juga pernyataan oleh Aristyo yang mana menyatakan bahwa tindakan Prabowo dapat memberikan dampak tang merugikan terhadap Indonesia "Karena kita punya hak berdaulat sepernuhnya terhadap SDA yang ada di Laut Natuna Utara, baik di kolom laut atau minyak dan buminya. Jika kita buat join agreement, artinya kita berbagi dengan Tiongkok padahal mereka tidak punya hak sama sekali," ucap Aristyo dalam suatu forum berita.

Berdasarkan pernyataan ini telah dibuktikan bahwa banyak yang khawatir akan hasil dari kerja sama ini. Akan tetapi dilansir dari suatu media berita, Menteri Koordinator Politik dan Keamanan Budi Gunawan menyatakan bahwa kerjasama ini tidak akan berdampak pada kedaulatan pada Laut Natuna Utara. Berdasarkan pendapat Budi Gunawan hal ini tetap berpedomana pada UU Nomor 17 Tahun 1985, yang merupakan ratifikasi dari UNCLOS 1982. Serta Dia menyatakan bahwa "Kesepakatan ini justru dicoba oleh Bapak Presiden itu terobosan baru dalam rangka menciptakan kestabilan di kawasan. Kestabilan kerja sama keamanan dengan membentuk joint operation. Jadi tidak saling curiga, tetapi kerja sama dalam rangka mengikat semua pihak,". Kemlu juga mengatakan dalam pernyataan itu Indonesia kembali menegaskan posisi bahwa klaim tersebut tidak memiliki hukum internasional sebagaimana dimaksud dalam UNCLOS 1982.

Berdasarkan pernyataan yang telah dinyatakan, dapat disimpulkan bahwa Perjanjian kerjasama ini sendiri adalah bentuk program kerja dari Presiden Prabowo Subianto terhadap penekanan atau menyelaraskan bahwa walaupun terdapat perjanjian yang telah disetujui, tetapi pernyataan nine bash line tetap tidak di setujui karena pernyataan overlapping claims tetap tak berdasar. Tindakan ini merupakan bentuk tujuan agar wilayah Laut Natuna sendiri dapat menjadi sektor yang berkembang diantaranya seperti Kesepakatan mencakup pengembangan bersama perikanan dan minyak serta gas di wilayah maritim yang klaimnya tumpang tindih antara kedua negara, serta keselamatan maritim, memperdalam kerja sama dalam ekonomi biru, sumber daya air dan mineral, serta mineral hijau.

Namun, tetap perlu diperhatikan bahwa suatu tindakan yang dilakukan dapat tanpa disengaja menimbulkan suatu kerugian yang mana, tindakan Presiden Prabowo dalam melakukan persetujuan dengan penjelasan info yang minim menimbulkan suatu kritik yang ditakutkan bahwa dapat berujung hilangnya kepercayaan terhadap pemimpin negara ataupun negara itu sendiri.

Andre Setiawan, Mahasiswa Fakultas Hukum, Universitas Jambi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun