Efek domino media sosial telah menjalar ke banyak negara di Timur Tengah, setelah Tunisia, kini Mesir, lalu berlanjut ke Yaman, Aljazair, Yordania dan Syria. Media Sosial dengan jejaring sosial atau jaringan sosialnya yang disebut sebagai suatu struktur sosial yang dibentuk dari simpul-simpul yang diikat dengan satu atau lebih tipe relasi spesifik seperti nilai, visi, ide, teman, keturunan, dan lainnya benar-benar menunjukan kekuatannya.
Internet sungguh luar biasa, dengan beragam aplikasi yang turunan yang ada padanya seperti mailing list, topik diskusi atau forum, percakapan online atau chat atau dengan video chat yang semula hanya berkisar kepada keisengan dan hobi saja, kini semakin meluas. Semua topik, informasi dari berbagai bidang seperti ekonomi, politik, budaya, teknologi, sosial hingga erotisme turut hadir. Internet saat ini, sudah dapat dikatakan sebagai second line ruang publik seperti kafe-kafe, taman-taman, lobbi hotel dan tempat gaul lainnya. Melalui internet, semua orang di belahan bumi manapun dapat berkomunikasi tanpa sekat ruang dan waktu. Persis seperti ramalan Marshall McLuhan dalam Understanding Media: Extension of A Man di awal tahun 60-an, yang menuliskan bahwa "perkembangan teknologi komunikasi akan menjadikan dunia sebagai sebuah desa global (global village)".
Dalam abad moderen ini, mungkin beberapa pendapat setuju, bila momen kemunculan kekuatan internet dengan media sosialnya dimulai ketika Presiden Amerika Serikat Barack Obama, saat berkompetisi menjadi orang nomor satu di negeri itu, memanfaatkan internet untuk menjaring pendukungnya. Sehingga ia dinilai telah memindahkan politik kepresidenan masuk ke abad digital. Obama juga memiliki banyak media sosial seperti, situs jejaring sosial antara lain Facebook, Twitter, My Space, Linkedin, Friendster hingga You Tube. Bahkan dari keberhasilan Obama tersebut, hal seperti itu juga menjalar kesemua negara-negara lainnya dibelahan dunia ini.
Pun dibanyak negara didunia, kekuatan internet dengan media sosial sangat dasyat dan hebat, seperti awal April 2009 lalu, para pemrotes yang sebagian besar anak muda memanfaatkan Twitter, Facebook, dan SMS untuk mengorganisir demonstrasi anti komunis. Sekitar 20 ribu orang turun ke jalan, berdemo di depan istana Presiden Vladimir Voronin, dan bahkan menduduki gedung parlemen di Chisinau, ibu kota Moldova. Diawal tahun 2011 ini, pergolakan di Tunisia yang akhirnya menjatuhkan presiden Zine El Abidine Ben Ali, seperti dilaporkan media, disebabkan oleh kondisi sosial dan ekonomi, ketika harga-harga naik dan pengangguran meningkat. Rakyat pun meradang ketika seorang lulusan universitas yang sulit mencari pekerjaan membakar dirinya, ketika petugas ketertiban menyita gerobak dagang buahnya. Mesirpun demikian, ketika mereka yang kecewa dengan rezim Husni "Firaun" Mubarak, dengan cepat kekuatan media sosial seperti Twitter dan Facebook, menjadi kekuatan yang diluar dugaan.
Demonstrasi model online tersebut, diperkuat dengan adanya parlemen jalanan, hingga menjadikan kekuatan virtual tersebut menjadi benar-benar nyata dan hidup serta menjadi suatu kekuatan besar. Bahkan mampu melebihi peran parlemen sebenarnya, yang kurang responsif, tanggap, dan minus pengalaman melihat berbagai persoalan sensitif di mata publik. Mungkin didalam negeri, pada saat Soeharto lengser, kita belum dapat mengatakan bahwa kekuatan tersebut digalang dari kekuatan media sosial, namun dalam beberapa waktu terakhir ini, ada banyak kasus dan berbagai persoalan di tanah air, yang dapat kita lihat sebagai model dan bentuk kekuatan internet. Misalnya saja, kasus Bibit-Chandra, kasus Prita, dan lainnya.
Karenanya, perkembangan internet dari hari kehari membantu masyarakat kebanyakan untuk menjadi lebih awas, kritis dan responsif. Jadi, ketika mereka merasa wakil-wakil mereka yang duduk dan menikmati berbagai fasilitas mewah dengan segala kemudahan serta kenikmatan dunia tidak mendengar keluh kesah, ocehan dan suara mereka, mungkin dengan apa yang disebut "DPR online" dan “Demonstrasi Online” itulah mereka mencurahkan segala kesusahan, uneg-uneg dan kesedihan hidup mereka, ditambah dengan kekuatan internet pula curhat tersebut dapat menjadi kekuatan massa yang mempunyai bargaining position kuat di negara demokrasi ini, sehingga mungkin saja, telinga-telinga tuli mereka yang duduk sebagai wakil rakyat, benar-benar hanya menjadi sawah untuk tempat menggarap kepentingan pribadi, keluarga, golongan,dan tentu saja partai mereka.
Sehingga jangan gusar, bila ditanah air kita, kemungkinan kekuatan media sosial sebagaimana banyak terjadi di berbagai negara didunia menjelma menjadi “people power”, atau apa yang disebut sebagai DPR online ini, menjelma menjadi parlemen jalanan, kemungkinan dapat saja terjadi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H