Lagi Menkominfo kita yang terkenal akan kegemarannya dengan pernyataan dan kontroversi dalam dunia internet Tanah Air ini, kembali menyuarakan suara kontroversinya. Kali ini, tidak tanggung-tanggung, Tifatul menyindir masalah penutupan MedSos (media sosial) Twitter di Tanah Air.
Dari gedung DPR RI yang telah memilih PILKADA Langsung, kemudian beberapa netizen yang tidak setuju dengan hasil tersebut menyuarakan kekesalan hati mereka di Twitter, namun dengan Hashtag yang membawa nama presiden Indonesia sekaligus presiden dari Partai.
Tentu saja, hal tersebut membuat ramai, apalagi ditambah beberapa nama populer di Twitter yang membawahi ribuan follower, dapat dipastikan bahwa hashtag Shameonyousby menjadi cepat menduduki peringkat pertama dalam trending topic Twitter.
Walau kemudian, secara gaib menghilang dari peringkatnya, dan kontroversi pun bermunculan, apakah ada kaitannya dengan kicauan Tifatul yang mengatakan bahwa: "beberapa negara spt Turki, Arab Saudi, Mesir pernah menutup Twitter. Indonesia belum pernah menutup Twitter. Ada Usulan?"
Tifatul mengatakan lebih lanjut, berdasar salah satu survey, sebanyak 64 persen pengguna Twitter adalah remaja usia 11 sampai 14 tahun, alias banyak yang belum akil baligh atau dewasa.
Lebih lanjut pula dia mengatakan bahwa tidak ada negara yang dapat mengontrol Twitter, bahkan termasuk Amerika Serikat pun. Apalagi hanya urusan "Trending Topic" yang digemari oleh anak-anak yang belum dewasa.
Memang media sosial di Tanah Air saat ini, dikenal bukan sebagai ajangnya para selebritis ataupun artis dan pekerja seni dan pembisnis melakukan usaha mereka saja, namun lebih banyak dikuasai oleh kampanye-kampanye politik.
Entah sudah berapa kali tercatat Trending Topik dari Tanah Air yang mengetengahkan judul-judul politik menjadi tren, bahkan terakhir, adalah terpilihanya Jokowi menjadi presiden juga menjadi trending topic Twitter.
Pertanyaan mungkin muncul, koq begitu mudahnya negara kita menjadi trending-trending topic di Twitter, apakah jangan-jangan hanya penduduk di Indonesia yang pekerjaannya melulu mengetik status dan hastag. Kita jawab lain kali, saja, karena judul artikel ini bukan masalah ini.
Kembali ke Tifatul, sah-sah saja, Tifatul sebagai menteri ingin melakukan apa pun demi kemajuan dan hal-hal terbaik bagi bangsa ini, namun tentunya bila berkaitan dengan pemblokiran, apalagi dengan penutupan full content, atau penutupan suatu web, hendaklah didasarkan pada akal sehat, logika waras serta hukum tentunya.
Jadi, bukan karena mempunyai kekuasaan berbuat sekehendak dan semaunya saja, atas dasar dari pembisik dan pengamat lalu lintas internet Tanah Air yang notabene mirip seperti direktorat lalu lintasnya Polri, lalu setuju dan asal blok saja.