Peristiwa padamnya listrik berjam-jam di Jakarta dan sekitarnya bisa dikategorikan sebagai sebagai keadaan "force ma'jeure" yaitu suatu keadaan yang tidak dapat dihindari sebagai dampak dari suatu peristiwa yang lebih superior. Hal ini dapat dihubungkan dengan peristiwa gempa dengan magnitude 6,9 skala richter yang terjadi sebelumnya, walaupun ada juga spekulasi yang berkembang dari seputar kejadian padamnya listrik itu.
Padamnya listrik bisa jadi adalah kejadian yang "biasa-biasa saja" pada daerah tertentu tetapi tidak di "mamakota" seperti Jakarta, it must be a tragedy. Banyak kegiatan yang bergantung pada listrik mulai dari yang tidak penting seperti memposting status di sosmed sampai dengan yang maha penting seperti proses bisnis dan pemerintahan. Tapi yang heboh tentu saja yang di sosmed.
Waktu Berefleksi
Secara positif, kita bisa saja memaknai keadaan padamnya listrik ini sebagai "waktu Tuhan" untuk memberikan kita rehat sejenak dari hingar-bingar "metropolutan" kepada suatu keadaan "kontemplatif" untuk berefleksi tentang apa yang sudah kita lakukan dan capai.Â
Bagi orang-orang yang terlalu lama tinggal di dalam dunia maya, mereka seperti terusir keluar dari dunia virtualnya untuk kembali berinteraksi dengan orang-orang dalam pengertian yang sesungguhnya, walaupun interaksi tersebut belum tentu menyenangkan, seperti terjebak di dalam kereta listrik.
Padamnya listrik bisa memberikan kita kesempatan untuk bertemu dengan banyak orang yang mungkin selama ini secara fisik dan mungkin juga perasaan "tidak bertemu", keluarga misalnya. Setidaknya padamnya listrik bisa membuat kita menyadari bahwa tak ada listrik yang tak pernah padam, (tak) kecuali kenangan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H