Ngijo, Karang Anyar, Jawa Tengah.. Ya kampung halaman yang kucintai dan selalu kurindukan, hampir setiap tahun dikala mendekati hari raya Idul Fitri dan memasuki musim mudik, aku dan ibuku mempersiapkan segala sesuatu untuk mudik, dan betapa hatiku berbunga-bunga menantikan waktu dimana aku pergi menggunakan bus malam yang tiketnya sudah ibuku beli jauh-jauh hari, aku selalu menikmati momen perjalanan menaiki bus AKAP Tujuan Solo tersebut, dimana aku sangat menikmati melihat pemandangan dari dalam bus.
Bukan hanya dalam perjalanan saja aku sangat menikmati momen libur panjang tersebut, suasana pedesaan dengan pemandangan hamparan sawah yang sangat luas dan pabrik tebu yang besar, dimana banyak jalur kereta dengan rel-rel yang melintasi jalanan utama membuat aku sangat ingin menaiki kereta pembawa hasil panenan tebu menuju pabrik untuk diolah, aku seringnya mengejar kereta tebu dan mengambil beberapa batang tebu yang menjorok keluar dari gerbong kereta penampung tebu tersebut.
Pernah sekali waktu aku tertangkap basah oleh masinis kereta pembawa tebu tersebut dan ternyata mengenal mbahku dan ibuku, dan itu adalah kala terakhir aku bisa bermain-main dengan kereta pembawa tebu tersebut, karena aku diadukan dan dimarahi oleh ibuku, sirna sudah harapan dan kesenanganku untuk bisa bermain dengan kereta pembawa tebu tersebut.
Ada kejadian lucu bercampur HORORÂ terjadi ketika kala itu aku mengunjungi rumah mbah, kurang lebih satu minggu aku dan ibuku menginap di rumah nenek ku yang bercirikhas kan rumah Joglo, dimana aku adalah anak yang nakal dan keras kepala, mengapa demikian? ya mbahku sampai lelah dan akhirnya tertawa terpingkal-pingkal melihat tingkahku yang konyol, ya betapa tidak konyolnya aku, berkali-kali aku diingatkan untuk tidak pulang terlalu Sore ketika aku bermain keluar, bahkan sampai aku ditakut-takuti kalau aku pulang kesorean nantinya aku akan dibawa wewe gombel, namun dasar aku keras kepala dan nakal, aku tidak menghiraukannya sama sekali.
Singkat cerita, SORE itu aku bermain seperti biasanya, mengelilingi pedesaan dan mengunjungi rumah mbahku yang satunya lagi dan aku menemukan "mainan baru" yaitu memberi makan hewan ternak, ada sapi dan kerbau. aku mencari rumput liar untuk dikumpulkan dan kubawa ke kandang sapi lalu memberikan makan dengan rumput yang telah ku kumpulkan. sangking asiknya tak terasa waktu sudah menunjukan pukul 17.50, sementara  waktu yang harus ditempuh untuk pulang ke rumah mbahku kurang lebih 10 menit jalan kaki, tidak seperti diperkotaan, sore hari di pedesaan suasanya sepi dan gelap, mencekam dan berangin.
Ketika aku dalam perjalanan pulang menuju ke rumah mbahku, aku tidak menemukan satu orangpun yang kujumpai, seperti kota mati tidak berpenghuni, tidak seprti biasanya suasana sangat hening dan hanya terdengar suara angin berhembus mengenai dedaunan pohon-pohon besar, aku sempat merasakan merinding dan ketakutan, sementara diujung jalan menuju jalan tikus aku melihat seorang nenek yang sedang menyapu jalanan dengan sapu lidi. namun, anehnya aku tidak melihat daun-daun atau sampah yang tersapu satupun, seperti menyapu debu saja dan cukup aneh mengapa menyapu jalanan yang berdebu.
 sampai akhirnya aku berpapasan oleh nenek tersebut dan nenek tersebut menanyakan mengapa aku masih berkeliaran dan belum pulang, "le.. koe putune mbah Sastro to?" tanya si mbah, "nggeh mbah" jawabku, uis ndang muleh yo, ojo mampir-mampir mengko kewengen" lanjut si mbah mengingatkan dan menyuruhku segera pulang "nggeh mbah aku mau pulang ini tapi takut" sahutku, "uis ora opo-opo tak konconi yo" jawab si mbah, "nggeh mbah matursuwun" jawabku. namun, anehnya ketika aku melanjutkan perjalanan lalu menoleh ke belakang, si mbah tidak ada dan menghilang entah kemana.
Langsung saja aku berlari sekuat tenaga tanpa menghiraukan apapun lagi. sampai akhirnya aku tiba dan ibu serta mbahku sudah menanti di depan teras halaman dengan perasaan cemas dan khawatir, segera saja aku dibawa masuk dan diberikan minum oleh ibuku, belum hilang ketakutanku ibuku mengomel dan memarahi aku mengapa aku pulang selarut itu dan tak mendengarkan nasihat dari mbahku juga. lalu malamnya aku menceritakan kejadian tersebut kepada ibuku dan mbahku, ternyata itu adalah mahluk halus yang baik yang masih ada hubungan keluarga dengan mbahku yang muncul ketika dalam keadaan dibutuhkan, kalau saja tidak ada "si mbah" tersebut, mungkin aku sudah dibuat kesasar hingga malam hari bahkan bukan tidak mungkin hilang entah kemana.
Setelah kejadian pada waktu Sore yang tak seperti biasanya itu, aku menjadi anak yang baik dan penurut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H