Keberagaman merupakan bagian tak terpisahkan dari identitas bangsa Indonesia. Dengan lebih dari 1.300 suku bangsa dan berbagai agama yang dianut, keberagaman menjadi tantangan sekaligus kekayaan. Namun, keberagaman ini tidak selalu mudah dijalani, terutama di tengah perbedaan keyakinan yang kerap memicu ketegangan. Dalam konteks ini, pesantren sebagai salah satu lembaga pendidikan Islam tradisional menjadi contoh bagaimana keberagaman dapat dirayakan melalui penghormatan, kesederhanaan, dan keterbukaan terhadap perbedaan.
Pesantren, sebagai lembaga pendidikan yang telah ada sejak zaman dahulu, menawarkan sebuah narasi kehidupan yang berbeda dari sistem pendidikan formal pada umumnya. Di dalam pesantren, terdapat keseimbangan antara pendidikan agama dan kehidupan sosial yang mengajarkan nilai-nilai kehidupan yang penuh toleransi. Santri di pesantren menjalani rutinitas yang berfokus pada pembentukan karakter dan hubungan harmonis antara sesama, meski terkadang berasal dari latar belakang yang berbeda. Hal ini memperlihatkan betapa pentingnya penerimaan terhadap perbedaan sejak usia dini.
Jika dibandingkan dengan lembaga pendidikan lainnya, pesantren memiliki pendekatan yang lebih menyeluruh dalam mengajarkan toleransi. Misalnya, di banyak sekolah umum, keberagaman seringkali diajarkan dalam bentuk teori, sementara di pesantren, toleransi diterapkan langsung dalam kehidupan sehari-hari. Santri tidak hanya belajar tentang menghormati guru atau orang yang lebih tua, tetapi juga dihormati haknya untuk hidup berdampingan dengan teman yang memiliki perbedaan agama dan budaya. Konsep "menghormati" di pesantren bukan hanya terbatas pada sikap sopan santun, tetapi mencakup penghargaan yang lebih mendalam terhadap perbedaan tersebut.
Bayangkan sebuah pagi di pesantren, ketika suara adzan terdengar di kejauhan. Para santri bangun untuk melaksanakan shalat subuh. Mereka datang dari berbagai daerah dengan latar belakang yang berbeda, namun mereka semua berjalan menuju masjid dengan tekad yang sama: beribadah. Tidak ada perbedaan yang tercipta di antara mereka, meskipun sebagian besar memiliki keyakinan yang berbeda. Inilah gambaran sederhana namun kuat tentang bagaimana keberagaman diterima di pesantren---sebuah lingkungan yang membentuk mereka menjadi individu yang tidak hanya toleran, tetapi juga penuh penghargaan terhadap perbedaan.
Sebagai contoh, di pesantren yang saya kunjungi, saya berasal dari luar daerah dan bukan seorang Muslim. Meski saya tidak ikut beribadah bersama, saya yang merupakan pendatang tetap diterima dengan tangan terbuka oleh para santri. Bahkan, mereka berbagi pengalaman tentang kebudayaan dan agama mereka. Ini menunjukkan bahwa meskipun kami berbeda dalam banyak hal, nilai-nilai keberagaman dan toleransi diterima dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Menurut saya, pendidikan di pesantren memiliki kekuatan untuk mengajarkan nilai-nilai toleransi yang lebih dalam dibandingkan dengan pendidikan di banyak tempat lain. Dalam pesantren, perbedaan bukanlah halangan untuk saling menghormati dan belajar satu sama lain. Ini adalah model pendidikan yang seharusnya bisa diadopsi lebih luas, karena menghargai perbedaan dapat memperkaya kehidupan sosial dan membangun persatuan bangsa.
Keberagaman di pesantren bisa dianalogikan seperti sebuah orkestra. Setiap instrumen memiliki suara yang berbeda, namun ketika dimainkan bersama-sama, mereka menciptakan harmoni yang indah. Masing-masing instrumen memiliki peran dan pentingnya masing-masing, sama halnya dengan perbedaan yang ada dalam masyarakat. Dengan saling menghormati dan bekerja sama, perbedaan ini bukan menjadi halangan, melainkan sebuah kekuatan yang saling melengkapi.
Di pesantren, setiap hari dimulai dengan kedamaian yang datang dari kebiasaan hidup sederhana. Suasana pagi yang tenang, dengan suara adzan yang memanggil santri untuk beribadah, menciptakan rasa kedamaian yang mendalam. Setiap sudut pesantren, dari kamar-kamar santri hingga ruang kelas dan masjid, terasa penuh dengan kesederhanaan yang menenangkan. Namun di balik kesederhanaan itu, ada nilai-nilai luhur yang mengajarkan tentang hidup berdampingan dalam keberagaman dan saling menghormati.
Pandangan ini sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Ibu Inaya Wahid, seorang aktivis keberagaman yang juga putri dari Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Ibu Inaya menegaskan bahwa keberagaman adalah anugerah yang diberikan Tuhan, bukan untuk memecah belah, tetapi untuk saling mengenal dan memperkaya pemahaman. Ini mengingatkan kita bahwa keberagaman adalah kesempatan untuk memperkuat persatuan, bukan memecahnya.
Hal yang serupa juga disampaikan oleh Bhante Kamsai, seorang pemuka agama Buddha, yang menggambarkan keberagaman agama seperti sekelompok orang buta yang memegang bagian tubuh gajah yang berbeda. Masing-masing memiliki pemahaman yang terbatas tentang kebenaran, tetapi bersama-sama mereka membentuk sebuah kesatuan yang lebih utuh. Perspektif ini mengajak kita untuk melihat perbedaan sebagai bagian dari satu kesatuan, bukan sebagai sesuatu yang harus dipertentangkan.
Pesantren tidak hanya membangun pengetahuan agama, tetapi juga mengasah karakter santri melalui disiplin dan kesederhanaan. Dengan pola hidup yang teratur dan nilai-nilai luhur yang diajarkan, pesantren menciptakan generasi muda yang memahami arti keberagaman dan mampu melihat perbedaan sebagai kekuatan, bukan sebagai penghalang. Melalui kehidupan di pesantren, kita bisa melihat bahwa keberagaman bisa menjadi dasar untuk mempererat persatuan. Dengan menjunjung tinggi nilai-nilai penghormatan dan toleransi, pesantren membuktikan bahwa perbedaan tidak perlu menjadi sumber konflik, melainkan peluang untuk menciptakan harmoni dalam kehidupan bersama.