Warteg gagal, hampir semua pemilik warteg ( warung tegal ) bersatu melawan perda yang di keluarkan bang kumis. Di sana malah sedang di perbincangkan perda baru buat pajak rumah kost. Biasalah, pajak lagi pajak lagi.
Obrolan itu terdengar kembali setelah sekian lama menunggu sarapan pagi di warung nasi bu barjah....
Tengah malam tadi, di group bb, twetter semua membicarakan peraturan baru tentang pajak di tempat hiburan khususnya bioskop di indonesia, peraturan ini terlebih di khususkan lagi untuk film film buatan luar negri. Permasalahannya sama, dan tidak pernah berubah dari zaman ke zaman. Baik pihak MPA ( motion picture associated ) maupun dirjen pajak si pembuat peraturan tidak mau kalah. Peraturan yang baru mengenai bea msuk film import untuk hak distribusi yang di berlakukan mulai bulan Januari 2011 ini tidak di tanggapi serius oleh pihak MPA. Pihak MPA sendiri bertahan karena merasa setiap copy film yang di bawa masuk ke Indonesia telah di kenakan pajak penghasilan ( PPh ) dan juga pajak penambahan nila ( PPN ).
Walau bagai manapun juga pihak pemutar film di indonesia khususnya 21 cineplex maupun Blizt yang memiliki penghasilan besar tetap menjadi lirikan dan lahan baru oleh pihak perpajakan. Tidak jauh berbeda dengan perpajakan rumah kost yang menjadi lirikan bagi para pejabat daerah dengan perpu baru yang lahir di beberapa kota besar di Indonesia. Pemerintah provinsi DKI Jakarta beberapa bulan lalupun pernah mengeluarkan Peraturan Daerah ( Perda ) mengenai rumah makan khususnya warteg, padahal apabila di lirik kembali masih banyak  potensi pajak yang lain yang bisa di gali selain dari warteg. Mungkin dari dasar ini pemerintah mulai melirik potensi pajak yang lainnya, sayangnya yang terkena apesnya jatuh kepada tempat hiburan yang tidak pernah mati di kunjungi masyarakat yaitu 21 cineplex dan Blitz megaplex.
Namun hal tersebut tidak perlu di khawatirkan dengan terlalu berlebihan. Ketika kita menjelajah ke dunia 21 Cineplex atau Blitz Megaplex, kita masih bisa melihat film film buatanluar negri tersebut di putar, namun hanya beberapa film saja yang tidak dapat di putar karena memang film tersebut masuk di saat transisi peraturan yang baru tengah di sosialisaikan sehingga menimbulkan kerancuan bagi pemerintah untuk memberikan izin penayangan film film tersebut.
Banyak media dan para penulis yang menyebutkan bahwa banyak karyawan dari 21 cineplex akan terancam statusnya sebagai pekerja. Jumlahnyapun tidak sedikit, sekitar 10 ribu karyawan yang terancam, hal tersebut seperti di besar besarkan apabila kita tidak dapat melihat penghasilan yang di dapat oleh pihak 21 Cineplex sendiri. Jika kita berandai andai bahwa film dari luar negri tidak di putar lagi oleh pihak 21 cineplex maka penghasilan atau pendapatan mereka menurun drastis dan akan mengancam karyawan mereka, maka hal tersebut dapat di terima oleh akal kita, namun apa bila peraturan tersebut di jalankan dengan 500 layar yang di miliki di seluruh Indonesia mungkin laba dari 21 cineplex menurun namun masih mendapatkan hasil.
Yang menjadi pertanyaan dan perhatian baru adalah bagai mana dengan Bliz megaplex, apakah mereka masih mampu bertahan hanya dengan berdiri di atas 2 kota besar. Lalu bagaimana dengan bioskop bioskop jadul yang masih bertahan hingga kini ? Semuanya seperti tergerus Zaman dan peraturan.....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H