Kereta api, seperti tahun-tahun sebelumnya, selalu diminati oleh pemudik, khususnya di Pulau Jawa. Tiket kereta api kelas bisnis dan eksekutif untuk keberangkatan dari Jakarta pada masa Lebaran tanggal 16-17 Agustus 2012 sudah habis terjual dalam waktu 30 menit. Hal yang sama untuk arus balik, terutama tanggal 26-27 Agustus 2012. Padahal tiket sekarang sudah bisa dipesan 90 hari sebelumnya, dan juga terkena tuslah yang luar biasa, naik hingga 100%. Tarif tertinggi bisa mencapai Rp 700 ribuan, untuk KA Gajayana (Jakarta-Malang). Saya bandingkan dengan pesawat terbang, misalnya citilink Jakarta-Surabaya, mempunyai kisaran harga yang sama. Hal ini menunjukkan kereta api mempunyai pengguna fanatik. Fenomena yang menarik yang berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya adalah diberlakukannya pengecekan antara tiket dengan KTP, alasannya untuk mencegah calo. Memang gebrakan yang bagus, karena yang merusak sistem tiket KA adalah maraknya percaloan. Namun penerapannya dalam arus mudik lebaran ini menimbulkan ribuan tiket menjadi hangus, karena nama di tiket tidak sesuai KTP. Memang ada kemungkinan hal tersebut disebabkan percaloan, tapi saya kira penyebab terbesarnya adalah sosialisasi yang kurang dan momennya tidak pas, yaitu mendekati hajatan akbar tiap tahun; MUDIK LEBARAN. Meskipun dikatakan sosialisasinya telah 3 bulan sebelumnya, namun kurang bergaung. Bahkan teman saya yang tiap minggu pulang-pergi Jakarta-Tegal pun juga terkena kasus yang sama ketika lebaran ini. Nama di tiket adalah nama panggilan, yang berbeda jauh dengan nama di KTP, sehingga harus bersitegang dengan polisi KA. Paman saya juga terkena masalah karena nama di tiket adalah nama anaknya yang membelikan tiket. Untungnya, PT KA masih memberi “keringanan”. Tempat duduknya diperkenankan bagi yang bersangkutan namun harus melakukan pembelian ulang. Artinya… ya terpaksa beli lagi… Kalau pengalaman teman saya, tiket hangus itu bisa ditebus lagi, tapi membayar denda 25% karena pembatalan tiket. Tetap saja keluar biaya tambahan. Kesannya seperti kereta api itu idola indonesia di pulau Jawa. Dan kenyataannya memang begitu. Kereta Api adalah tulang punggung (yang sakit-sakitan) transportasi, terutama di pulau Jawa. Ketiadaan tiket berdiri di KA ekonomi menyebabkan turunnya jumlah penumpang KA selama mudik, yaitu sekitar 3,2 juta menjadi 2,8 juta. Berkebalikan dengan pemudik kendaraan pribadi malah meningkat volumenya, yang didominasi oleh sepeda motor yang naik 16,6% dari 2,4 juta ke 2,5 juta kendaraan. Sedangkan mobil pribadi ‘cuma’ naik 5,6% dari 1,5 juta ke 1,6 juta kendaraan. Hasilnya sudah bisa dilihat (dan sudah diramalkan tanpa ada tindakan pencegahan)… yaitu kemacetan luar biasa selama mudik 1433 H ini. Silakan dinikmati. Alasan PT KA menghapuskan tempat berdiri adalah atas dasar menciptakan angkutan yang manusiawi. Tapi ukuran ‘manusiawi’ ini relatif. Bila mencoba dari sudut pandang yang lebih luas, KA Ekonomi adalah angkutan yang ongkosnya paling bisa dijangkau oleh masyarakat (bawah). Apabila kapasitasnya dibatasi, maka tentunya akan mencari pilihan yang juga ekonomis, meskipun berisiko. Prediksi saya, karena angkutan bis pun dirasa masih terlalu mahal, maka pilihan yang masuk akal adalah memakai sepeda motor. Maka terciptalah pemudik bersepeda motor, yang sebenarnya lebih tidak manusiawi dan berisiko tinggi. Angka kecelakaan mencapai 5.000 kasus, dengan korban jiwa hampir mencapai 1000 orang. Mayoritas dialami oleh pengendara sepeda motor. Selain kecelakaan, kemacetan kali ini sudah menjadi hal yang hampir tidak masuk akal. Waktu tempuh menjadi berlipat ganda. Contohnya Jakarta Semarang menjadi 41 jam. Atau Cikampek-Cirebon yang biasanya ditempuh 2-3 jam menjadi lebih dari 24 jam. Kereta komunitas yang pernah diadakan PT KAI untuk mengangkut sepeda motor, ternyata tarifnya tidak murah, sehingga sepi peminat dan kemudian ditiadakan. Disitu menunjukkan dua hal, yaitu ketidakjelian menangkap pangsa pasar KA komunitas yang sangat sensitif harga, disisi lain tidak adanya komitmen dari pemerintah untuk memberikan subisidi khusus lebaran kepada angkutan umum supaya tidak ada tuslah, sehingga harganya lebih ‘masuk akal’. Setiap harinya… bila mau disamakan, KRL sendiri juga jauh dari manusiawi dalam mengangkut penumpang. Bahkan bila menggunakan KRL untuk menuju stasiun, penduduk Jabodetabek malah kesulitan karena KRL tidak berhenti di Gambir dan Senen. Bagaimana mau moda terintegrasi kalau menuju stasiun saja susah. Namun keterbatasan memang dialami oleh PT KAI dan anak perusahaannya selaku penyedia jasa transportasi KA satu-satunya di Indonesia raya. Semoga hal-hal tersebut membuat pemerintah berkomitmen untuk menjadikan kereta api sebagai tulang punggung transportasi Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H