Mohon tunggu...
andrefeb febriansyah
andrefeb febriansyah Mohon Tunggu... Administrasi - penggemar buah

pembuat jejak

Selanjutnya

Tutup

Otomotif

Sambang “Rainbow Warrior” di Tanjung Priok

9 Juni 2013   08:14 Diperbarui: 24 Juni 2015   12:19 202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kabar berlabuhnya kapal Rainbow Warrior II baru saya dengar Sabtu pagi ini. Ternyata dia sudah sandar sejak kamis, 6 Juni 2013, dan sudah dikunjungi presiden SBY Jumat kemarin. Baru hari Sabtu ini dibuka untuk umum, sampai dengan hari Minggu. Hari sudah siang, mendekati jam 11, jadi saya berpikir bagaimana cara tercepat mencapai Tanjung Priuk. Apakah naik bis PAC 82 jurusan Depok-Tanjung Priuk, ataukah naik KRL ke Stasiun Kota dulu, lalu naik angkot? masalahnya saya tidak pernah ke Tanjung Priuk. Sayangnya jadwal KRL yang ada tidak ada yang jurusan Stasiun Tanjung Priuk. Akhirnya saya pilih KRL dengan pertimbangan kecepatan dan frekuensinya yang lumayan tinggi sekarang. Jika naik bis PAC 82, mungkin jalanan tidak semacet hari kerja, tapi jumlah penumpang lebih sedikit bisa berdampak frekuensi keberangkatan berkurang dan waktu ngetem bisa lebih lama. Meskipun pertama agak kagok dengan sistem tiket elektronik perjalanan, KRL lancar dan cepat, dengan suasana stasiun yang agak lengang, dampak sterilisasi stasiun yang baru saja dilakukan. Sampai di Stasiun Kota, sudah tampak ngetem mikrolet 15A biru telor asin jurusan Tanjung Priuk. Ngetemnya agak lama karena nunggu sampai penuh. Tapi kebanyakan penumpang turun di Pasar Pagi. Jadi hanya saya yang sampai ke terminal Tanjung Priuk. Karena memang baru pertama kali ke Tanjung Priuk, saya bingung dimana lokasi sandarnya si Rainbow Warrior itu. Jadi saya tanya tukang ojek, kemarin Presiden SBY kemana, dengan Rp 10.000, mereka langsung mengantarakan saya ke Dermaga Pelni.

pelabuhan yang sepi

Dermaga yang sepi, seakan menegaskan tentang hilanggnya masa kejayaan angkutan laut. Namun di pintu 1, diujung tampak antrean orang. Ternyata banyak juga yang berminat melihat Rainbow Warrior itu. Ruang tunggu bersih dan nyaman ber-ac, termasuk mushola yang  memadai. Menunggu agak lama karena dibuka per gelombang agar tidak berjubel, akhirnya jam 13.00 saya sudah berada di dek Rainbow Warrior II, adik Rainbow Warrior I yang sudah karam dibom. Si Rainbow ijo itu ternyata sandar di dekat KM Titian Nusantara, kapal yang sudah familiar dengan saya waktu di Kalimantan dulu.

Masuk ruang Kemudi, ternyata jurumudinya orang Indonesia, Ade Koncil. Awak kapalnya sekitar 16 orang dari berbagai negara, dan dikontrak 3 bulan. Menjalankan kapal ini memakai autopilot, namun bila cuaca buruk kemudi manual kembali dipegang. Setelah berkeliling dek, saya menyaksikan sekilas pemutaran filem mengenai Greenpeace, yang punya kapal Rainbow Warrior. Kapal ini baru kembali dari Papua, setelah singgah di Banoa, Bali. Pemutaran filem itu di ruang konfrensi, yang terletak di bawah dek.
ruang kemudi dari arah depan
ruang kemudi dari arah depan

ruang kemudi dari arah depan

Kesan saya sih…. bersih dan nyaman Kapal Rainbow Warrior ini, beda dengan kapal-kapal penumpang yang pernah saya tumpangi. Kapal ini diklaim ramah lingkungan, karena sering menggunakan tenaga angin (alias kapal layar). Maka terlihat perbedaan yang paling mencolok dengan kapal-kapal lainnya yang sandar disekitarnya adalah adanya tiang tinggi untuk layarnya. Video mengenai tour ke Kapal Rainbow Warrior II ini telah saya upload di sini.

Setelah puas berkeliling, saya melihat sudah mendung tebal. Daripada naik ojek kehujanan, saya melihat ada Taksi B****, saya naik saja ke Stasiun Kota, sementara hujan sudah mulai turun. Tapi ini pengalaman saya yang paling buruk dengan Taksi B****, ternyata argonya tidak dari nol (mulai dari sekitar Rp 60 ribuan). Dia juga menyarankan lewat Sunter, dan cara mengemudikannya yang kasar, dan ketika saya bayar beralasan tidak ada kembalian. Padahal taksi ini termasuk taksi ‘kelas satu’ di Jakarta. Entah kenapa pengalaman saya di Jakarta dengan taksi-taksi dari terminal, pelabuhan atau stasiun pelayanannya jelek, kecenderungan ‘mengeruk uang penumpang’. Apa dikira penumpang dari pelabuhan itu orang udik semua yang jadi sasaran empuk? Sayang sekali lokasi terminal dan stasiunnya agak jauh dari pelabuhan, sesekali diselingi truk-truk besar pengangkut peti kemas. Setidaknya sarana transportasi massal seperti KRL atau Transjakarta Busway, atau bahkan sekadar kopaja/angkot bisa lebih ‘aman’ karena tarif dan rute-nya tidak bisa bohong, dan banyak orang/penggunanya yang saya bisa bertanya kelazimannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun