Di era digital yang serba cepat ini, kita melihat fenomena menarik muncul di tengah masyarakat modern: kebangkitan pseudo-intellectual. Semua orang tampak memiliki akses terhadap pengetahuan, dengan mudah berbagi opini di media sosial, forum daring, dan ruang-ruang diskusi publik lainnya. Namun, di balik derasnya arus informasi, muncul jenis "intelektual" baru yang lebih sering mengandalkan citra dan keahlian verbal daripada substansi pemikiran yang mendalam. Mereka ini dikenal sebagai pseudo-intellectuals---orang-orang yang tampak pintar di permukaan tetapi kurang memiliki dasar pemahaman yang kuat.
Fenomena ini tidak hanya terjadi di kalangan individu, tetapi juga menyebar ke berbagai aspek kehidupan, dari politik hingga budaya pop. Pertanyaannya adalah, mengapa pseudo-intellectuals semakin banyak dan bagaimana mereka memengaruhi lingkungan sosial kita?
Istilah pseudo-intellectual merujuk kepada individu yang mengklaim memiliki pengetahuan dan wawasan mendalam, tetapi sebenarnya hanya mengandalkan kutipan-kutipan atau informasi yang bersifat dangkal. Mereka cenderung mengemas argumen mereka dalam bahasa yang rumit dan sering kali menyebut nama-nama besar atau teori ilmiah, tanpa memahami betul konsep-konsep yang mereka bicarakan. Tujuannya adalah untuk tampak cerdas di depan orang lain, tanpa keinginan sebenarnya untuk memahami atau mengeksplorasi suatu topik secara mendalam.
Dalam artikel yang ditulis oleh Hendrick Acosta, pseudo-intellectuals sering kali berupaya menguasai perbincangan, namun justru terjebak dalam pengulangan dan pernyataan yang tidak ada dasarnya. Alih-alih bertindak sebagai pencari kebenaran, mereka lebih fokus pada citra pribadi. Penggunaan istilah-istilah canggih dan penyebutan tokoh-tokoh besar dalam percakapan menjadi senjata utama untuk mendominasi diskusi, sementara esensi argumen sering kali rapuh dan tidak bermakna.
Dikutip dari artikel yang diterbitkan oleh Times of India, ada beberapa ciri-ciri yang dapat membantu kita mengidentifikasi pseudo-intellectuals dalam kehidupan sehari-hari. Pertama, mereka cenderung sangat defensif saat pendapat mereka ditantang. Bagi mereka, kritik bukanlah kesempatan untuk belajar, tetapi lebih sebagai ancaman yang harus diatasi dengan cara apa pun. Kedua, mereka sering memonopoli percakapan, mengambil banyak ruang tanpa memberikan kesempatan kepada orang lain untuk berbicara.
Selain itu, mereka sering kali menggunakan istilah atau konsep yang sebenarnya mereka tidak pahami dengan baik. Misalnya, mereka mungkin membahas topik seperti filsafat eksistensialisme, teori relativitas, atau ekonomi mikro-makro, tetapi hanya dengan mengulang kutipan atau argumen yang pernah mereka baca tanpa mendalami pemahaman lebih lanjut. Ketika ditanya lebih detail, jawaban mereka biasanya ambigu atau bahkan tidak relevan dengan topik yang dibahas.
Artikel dari Herald Scotland juga menyoroti kebiasaan pseudo-intellectuals untuk "name-dropping," yakni kebiasaan mereka menyebut nama-nama terkenal atau buku-buku penting sebagai alat untuk mendapatkan otoritas dalam percakapan, meski sebenarnya mereka mungkin tidak benar-benar memahami atau bahkan membaca karya-karya tersebut. Ini adalah bentuk manipulasi sosial yang bertujuan untuk menonjolkan diri mereka sebagai orang yang lebih berpengetahuan daripada orang lain.
Lalu, mengapa pseudo-intellectuals semakin banyak di masyarakat kita? Salah satu jawabannya adalah akses informasi yang semakin mudah. Dalam beberapa detik, kita bisa mendapatkan ribuan artikel dan sumber informasi dari berbagai topik di internet. Hal ini memungkinkan seseorang untuk dengan cepat mengadopsi argumen-argumen tanpa perlu memahami konteks atau substansi di baliknya. Seiring dengan populernya media sosial, individu semakin terdorong untuk memperlihatkan citra diri yang pintar atau intelektual agar diterima dalam komunitas online yang semakin kompetitif.
Sayangnya, sifat internet yang serba instan ini juga menciptakan ruang bagi pengetahuan dangkal untuk tumbuh subur. Media sosial dan platform daring sering kali menjadi medan pertempuran opini, di mana kualitas diskusi digantikan oleh siapa yang lebih cepat mengeluarkan kutipan atau teori. Ketika hal ini terjadi, mereka yang lebih peduli pada citra daripada pemahaman akan lebih sering tampil sebagai pemenang.
Pseudo-intellectuals memanfaatkan momen ini untuk membangun citra diri yang kredibel, dan dalam beberapa kasus, bahkan menjadi influencer atau "pakar" dalam suatu bidang. Namun, di balik popularitas ini, banyak dari mereka yang tidak memiliki dasar pemahaman yang kuat.