Pseudo-intellectuals juga menimbulkan kebingungan di kalangan masyarakat awam. Ketika seseorang yang tampak pintar dan berbicara dengan percaya diri mendominasi ruang publik, banyak orang akan menganggap pendapat mereka sebagai kebenaran, meskipun argumen tersebut mungkin salah atau tidak berdasar. Hal ini menciptakan efek domino di mana opini dangkal dan salah kaprah dapat menyebar dengan cepat, merusak tatanan pemikiran kritis di masyarakat.
Lalu, bagaimana kita melawan fenomena ini? Salah satu solusinya adalah dengan kembali menghargai kejujuran intelektual. Orang yang benar-benar bijak atau cerdas tidak takut mengakui ketidaktahuan mereka atau mencari pengetahuan baru. Mereka tidak akan defensif saat pendapatnya ditantang, melainkan menggunakan kritik sebagai peluang untuk belajar dan berkembang. Mereka tidak akan mencoba untuk menipu orang lain dengan retorika kosong, tetapi justru berbicara dengan jelas, sederhana, dan berbasis fakta.
Selain itu, kita perlu mendorong lebih banyak diskusi yang bermakna dalam kehidupan sehari-hari. Dengan menciptakan ruang di mana pendapat yang berbeda dihargai, tetapi juga harus disertai dengan argumen yang mendalam dan berbasis fakta, kita dapat mulai memerangi dominasi pseudo-intellectuals. Kesadaran bahwa pengetahuan sejati adalah hasil dari pembelajaran yang terus menerus, bukan dari sekadar menampilkan citra intelektual, adalah langkah awal yang penting dalam menghadapi kebangkitan fenomena ini.
Pada akhirnya, kita harus ingat bahwa menjadi pintar tidak hanya tentang seberapa banyak informasi yang kita ketahui, tetapi juga tentang bagaimana kita menggunakan pengetahuan tersebut untuk memperbaiki diri dan masyarakat di sekitar kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H