Dalam dunia ekonomi, inflasi dan deflasi adalah dua fenomena yang selalu menjadi perhatian utama para pembuat kebijakan dan masyarakat. Keduanya seringkali dipahami sebagai kekuatan yang berlawanan---dengan inflasi mengacu pada kenaikan harga barang dan jasa secara umum, sementara deflasi mengacu pada penurunan harga. Namun, yang jarang disadari adalah bahwa kedua kondisi ini, meskipun bertolak belakang, sama-sama berpotensi menimbulkan bahaya bagi perekonomian. Lantas, mana yang sebenarnya lebih berbahaya: inflasi atau deflasi?Â
Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu terlebih dahulu memahami apa yang dimaksud dengan inflasi dan deflasi secara lebih mendalam. Inflasi terjadi ketika daya beli masyarakat menurun karena harga barang dan jasa meningkat. Hal ini biasanya disebabkan oleh beberapa faktor, seperti peningkatan biaya produksi, lonjakan permintaan, atau kebijakan moneter yang melonggarkan jumlah uang beredar. Di sisi lain, deflasi adalah kebalikan dari inflasi, yakni ketika harga barang dan jasa menurun secara umum. Kondisi ini seringkali dipicu oleh penurunan permintaan konsumen, sehingga menyebabkan overproduksi barang dan layanan yang tidak terserap oleh pasar.
Baik inflasi maupun deflasi dapat memberikan dampak negatif yang signifikan pada perekonomian jika tidak dikendalikan. Inflasi yang terlalu tinggi akan menggerus daya beli konsumen, sementara deflasi dapat menurunkan aktivitas ekonomi secara keseluruhan karena konsumen cenderung menunda pembelian, berharap harga akan terus turun.
Inflasi dalam skala yang moderat sebenarnya bisa menjadi tanda positif bagi perekonomian. Ketika harga naik secara perlahan, hal ini seringkali mencerminkan permintaan yang kuat di pasar dan pertumbuhan ekonomi yang sehat. Akan tetapi, inflasi yang berlebihan atau hiperinflasi dapat menyebabkan kehancuran ekonomi. Sejarah telah mencatat beberapa contoh tragis dari hiperinflasi, seperti yang terjadi di Zimbabwe pada awal 2000-an atau Jerman pada era Weimar setelah Perang Dunia I. Dalam kondisi ini, harga barang bisa naik secara eksponensial dalam waktu singkat, sehingga uang kehilangan nilainya dengan cepat.
Inflasi yang tinggi juga dapat menyebabkan ketidakpastian dalam pengambilan keputusan ekonomi. Konsumen dan bisnis menjadi kesulitan memprediksi biaya di masa depan, yang pada akhirnya dapat menurunkan investasi dan konsumsi. Di samping itu, inflasi tinggi juga merugikan mereka yang memiliki pendapatan tetap, seperti pensiunan, karena daya beli mereka tergerus oleh kenaikan harga.
Namun, inflasi yang terkendali (sekitar 2-3% per tahun, menurut banyak ekonom) dianggap sebagai tanda perekonomian yang tumbuh stabil. Pemerintah dan bank sentral sering kali menggunakan kebijakan moneter, seperti menaikkan suku bunga, untuk menekan laju inflasi agar tetap berada di batas yang aman.
Deflasi mungkin terdengar seperti kabar baik bagi konsumen karena harga barang menjadi lebih murah. Namun, penurunan harga yang terus-menerus dapat membawa efek jangka panjang yang jauh lebih merusak. Salah satu dampak deflasi yang paling berbahaya adalah penurunan aktivitas ekonomi. Ketika harga barang dan jasa turun, konsumen seringkali memilih untuk menunda pembelian mereka dengan harapan harga akan semakin turun. Akibatnya, permintaan terhadap barang dan jasa menurun, yang kemudian memicu penurunan produksi dan menyebabkan perusahaan-perusahaan mengalami kerugian.
Dalam jangka panjang, deflasi dapat menyebabkan apa yang disebut dengan spiral deflasi. Dalam kondisi ini, perusahaan-perusahaan harus mengurangi biaya produksi, seringkali dengan cara melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK). Dengan lebih sedikit orang yang bekerja dan pendapatan yang lebih rendah, daya beli masyarakat terus menurun, yang kemudian memperburuk deflasi. Kondisi ini bisa sangat sulit dihentikan, karena ketika ekonomi terjebak dalam spiral deflasi, menjadi semakin sulit bagi pemerintah untuk memulihkan kepercayaan konsumen dan bisnis.
Salah satu contoh deflasi yang terkenal terjadi di Jepang pada era 1990-an, yang dikenal sebagai "Dekade Hilang." Meskipun Jepang adalah salah satu ekonomi terbesar di dunia, negara ini mengalami stagnasi yang berkepanjangan akibat deflasi, yang pada akhirnya menghambat pertumbuhan ekonomi negara tersebut selama bertahun-tahun.
Meski inflasi kerap menjadi sorotan, banyak ekonom berpendapat bahwa deflasi justru bisa lebih berbahaya, terutama bagi perekonomian modern. Deflasi sering kali lebih sulit diatasi dibandingkan inflasi. Ketika terjadi deflasi, suku bunga rendah sering kali tidak cukup untuk mendorong permintaan, dan bahkan penurunan suku bunga ke level nol sekalipun tidak bisa menggerakkan ekonomi. Ini yang sering disebut sebagai jebakan likuiditas, di mana kebijakan moneter kehilangan daya efektivitasnya dalam merangsang pertumbuhan.