Mohon tunggu...
Andrea Wiwandhana
Andrea Wiwandhana Mohon Tunggu... Wiraswasta - Digital Marketer

Menggeluti bidang digital marketing, dan saat ini aktif membangun usaha di bidang manajemen reputasi digital. Spesialis dalam SEO, dan Optimasi Google Business.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Manusia yang Suka Selingkuh: Hewan Primitif yang Evolusinya Belum Sempurna

24 September 2024   17:22 Diperbarui: 24 September 2024   17:23 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Perselingkuhan dalam hubungan seringkali dianggap sebagai tanda kegagalan moral, namun apakah sebenarnya manusia yang gemar selingkuh memiliki hubungan lebih dalam dengan perkembangan evolusi kita? Meneliti fenomena ini dari sudut pandang sosial dan ilmiah, kita bisa menemukan bahwa kebiasaan ini mungkin berasal dari jejak evolusi yang belum tuntas. Masyarakat modern seringkali menganggap kesetiaan sebagai cerminan dari manusia yang berkembang, sementara perilaku menyimpang seperti perselingkuhan masih dianggap sebagai perilaku primitif yang belum berevolusi secara sempurna.

Banyak kajian menunjukkan bahwa perilaku selingkuh bukanlah hal baru dalam evolusi manusia. Menurut beberapa ilmuwan, perilaku ini bisa jadi salah satu adaptasi biologis yang diwariskan oleh nenek moyang kita. Dalam artikel yang dipublikasikan oleh The Swaddle, disebutkan bahwa perilaku selingkuh tidak hanya terjadi pada manusia, tetapi juga ditemukan pada berbagai spesies di dunia hewan. Namun, bagi manusia yang hidup di era modern, tindakan ini dianggap sebagai pengkhianatan besar, jauh berbeda dari norma yang kita anggap sebagai kemajuan peradaban.

Jika ditinjau dari kacamata evolusi, perilaku selingkuh bisa jadi berkaitan erat dengan upaya penyebaran gen dalam jumlah yang lebih banyak. Dalam hal ini, perilaku seperti ini mungkin sangat efektif dalam konteks kelangsungan spesies di masa lalu. Live Science bahkan menekankan bahwa cheating atau pengkhianatan ditemukan dalam berbagai bentuk di dunia binatang, mulai dari serigala hingga burung. Perilaku ini tidak hanya diterima dalam konteks evolusi mereka, tapi juga berkontribusi pada keragaman genetik yang diperlukan untuk bertahan hidup dalam lingkungan yang selalu berubah.

Namun, dalam peradaban modern, manusia sudah tidak lagi hidup dalam situasi di mana jumlah keturunan yang banyak menjadi prioritas utama. Dengan demikian, orang yang tetap terjebak dalam pola perilaku selingkuh mungkin belum sepenuhnya 'berkembang'. Mereka terjebak dalam perilaku yang, secara evolusioner, tidak lagi sesuai dengan norma sosial yang dibangun di era modern.

Sebagai masyarakat yang hidup dalam kerangka hukum, budaya, dan nilai-nilai moral, kita tidak lagi dapat membenarkan perilaku seperti ini dengan alasan biologis semata. Northwest Missourian News menegaskan bahwa perselingkuhan dalam hubungan bukan hanya sekedar pelanggaran moral, tetapi juga pelanggaran terhadap komitmen sosial. Dalam konteks ini, seseorang yang terus-menerus memilih jalan selingkuh dapat dilihat sebagai orang yang 'belum sempurna berevolusi'. Mereka masih terjebak dalam pola pikir dan perilaku yang lebih mirip dengan leluhur kita yang hidup dalam konteks sosial yang sangat berbeda.

Di sisi lain, evolusi tidak hanya soal fisik, tetapi juga perkembangan emosional dan mental. Mereka yang sudah berevolusi secara lengkap tidak hanya mampu mengontrol impuls biologisnya, tetapi juga mampu membentuk hubungan emosional yang dalam dan bermakna dengan pasangannya. Kesetiaan dan komitmen merupakan tanda bahwa manusia sudah berkembang melampaui naluri dasar dan primitif yang dulu mengendalikan perilaku mereka.

Maka, jika kita melihat seseorang yang suka selingkuh, kita bisa melihatnya sebagai cermin dari manusia yang masih terjebak dalam evolusi yang belum tuntas. Tindakan ini adalah cerminan dari kegagalan untuk benar-benar berevolusi ke tahap yang lebih tinggi, di mana hubungan yang didasarkan pada kesetiaan dan komitmen menjadi standar baru dari manusia yang berkembang. Perselingkuhan mungkin memiliki jejak dalam sejarah evolusi kita, tetapi di masa modern, ia tak lebih dari tanda bahwa seseorang belum sepenuhnya berevolusi secara emosional dan mental.

Di era di mana masyarakat semakin menghargai komitmen dan integritas dalam hubungan, mereka yang terjebak dalam pola perilaku seperti selingkuh sering kali dianggap gagal memahami esensi hubungan yang lebih dalam. Ini bukan sekadar soal kesalahan moral, tetapi lebih pada ketidakmampuan untuk berevolusi dari aspek perilaku primitif menjadi manusia modern yang mampu membangun hubungan yang bermakna.

Kesimpulannya, perilaku selingkuh mungkin berakar dari evolusi, namun mereka yang terus menerus mengulangi tindakan ini bisa dianggap sebagai individu yang belum berevolusi sepenuhnya. Mereka mungkin memiliki tubuh modern, tetapi dalam banyak hal, mereka masih dikendalikan oleh naluri primitif yang tidak lagi relevan dalam kehidupan sosial manusia. Di sinilah pentingnya kesadaran dan pengendalian diri dalam menjalin hubungan. Tanda kemajuan bukanlah kemampuan untuk mengikuti naluri, tetapi kemampuan untuk melampaui mereka dan menciptakan hubungan yang lebih dalam dan berarti dengan orang lain.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun