Fenomena rendahnya minat baca di Indonesia seakan menjadi cerminan dari dinamika sosial politik yang lebih mementingkan popularitas daripada substansi. Menurut laporan UNESCO, minat baca orang Indonesia masih tergolong sangat rendah. Dalam skala global, Indonesia berada di peringkat 60 dari 61 negara terkait literasi . Ini bukan hanya mencerminkan sebuah permasalahan pendidikan, tetapi juga bagaimana pola pikir masyarakat dalam merespons informasi dan pemimpin.
Dalam sebuah era di mana akses terhadap informasi semakin mudah, ironi terjadi ketika literasi membaca malah menurun. Rendahnya minat baca bukan hanya masalah individual, tetapi mencerminkan gejala sosial yang lebih besar. Orang-orang lebih senang menerima informasi instan dan memprioritaskan hiburan dibandingkan menggali pengetahuan mendalam. Ini menjadi tantangan ketika generasi muda dibombardir dengan media sosial, yang lebih menonjolkan tampilan visual daripada pemahaman mendalam.
Padahal, membaca bukan hanya soal mengumpulkan informasi, melainkan membentuk cara berpikir kritis. Dengan kemampuan membaca yang baik, masyarakat dapat memfilter informasi, membedakan antara fakta dan opini, serta berpikir lebih rasional. Namun, ketika minat baca rendah, kemampuan untuk membentuk argumen yang logis dan berlandaskan data pun berkurang. Alhasil, hal ini mempengaruhi bagaimana masyarakat memilih pemimpin dan menilai kebijakan.
Seiring dengan menurunnya minat baca, muncul tren di mana popularitas lebih diutamakan daripada kompetensi atau moralitas dalam memilih pemimpin. Menurut Ridwan Kamil, demokrasi Indonesia sering kali tidak memilih orang pintar, melainkan orang yang pandai membangun pencitraan . Fenomena ini memperlihatkan bagaimana populisme mendapatkan tempat lebih tinggi di mata publik dibandingkan dengan pemimpin yang menawarkan solusi nyata dan berintegritas.
Populisme sebagai fenomena global mengalami kebangkitan di berbagai negara, termasuk Indonesia. Para pemimpin populis cenderung memanfaatkan emosi dan keresahan masyarakat daripada mengedepankan solusi rasional berbasis data. Mereka mengemas pesan dengan cara yang sederhana, mudah diterima, dan sering kali berlebihan agar terlihat lebih menarik di mata publik. Yang menarik, dalam riset yang dilakukan oleh Kompas, tren ini tidak hanya terbatas di kalangan pemilih dengan tingkat pendidikan rendah, tetapi juga di kalangan yang lebih terdidik .
Populisme menjadi cara yang mudah untuk mendapatkan dukungan, namun dampaknya sering kali negatif. Pemimpin populis cenderung tidak fokus pada perbaikan struktural, melainkan pada kebijakan yang cepat populer meski tidak membawa dampak jangka panjang. Padahal, tantangan yang dihadapi oleh masyarakat Indonesia, seperti krisis ekonomi, pendidikan yang tertinggal, dan ketimpangan sosial, membutuhkan solusi yang lebih mendalam dan komprehensif.
Di samping rendahnya minat baca dan bangkitnya populisme, ada juga krisis moralitas di antara para pemimpin. Anak pejabat yang hidup dalam kemewahan dan hedonisme sering kali tidak memiliki pemahaman mendalam tentang kondisi masyarakat yang dipimpinnya. Dalam artikel Kompas tentang gaya hidup hedonis anak pejabat, banyak ditemukan bagaimana anak-anak pejabat menikmati kekayaan orang tua mereka tanpa memikirkan tanggung jawab moral yang melekat pada jabatan yang dimiliki . Hal ini menggambarkan jurang yang semakin lebar antara elite dan rakyat biasa.
Jika moralitas diabaikan dan populisme terus berkembang, kita bisa mempertanyakan arah masa depan bangsa. Pemimpin yang tidak memiliki moralitas tinggi cenderung mengabaikan kepentingan rakyat, hanya fokus pada keuntungan pribadi dan kelompoknya. Hal ini bisa berbahaya jika terus dibiarkan, karena akan mempengaruhi keputusan-keputusan besar yang seharusnya berlandaskan pada kepentingan umum.
Kombinasi antara rendahnya minat baca dan maraknya pemimpin populis menciptakan tantangan besar bagi Indonesia. Masyarakat perlu didorong untuk kembali ke dasar, yaitu dengan meningkatkan literasi dan moralitas. Literasi bukan hanya sekadar kemampuan membaca, tetapi juga bagaimana kita memproses informasi, berpikir kritis, dan membentuk pandangan yang berlandaskan pada fakta. Pemimpin dengan moralitas tinggi tidak hanya memahami apa yang dibutuhkan rakyat, tetapi juga berani membuat keputusan yang benar meski tidak selalu populer.
Saat ini, kita dihadapkan pada pilihan: Apakah kita akan terus memilih pemimpin yang hanya mengandalkan popularitas, atau kita mulai melihat esensi dari kepemimpinan sejati? Bagaimana kita bisa membangun masa depan yang lebih baik jika pemimpin kita hanya terfokus pada pencitraan dan bukan pada solusi? Masyarakat yang cerdas dan moralitas yang tinggi adalah fondasi untuk mencapai perubahan yang nyata.