Mohon tunggu...
Andrea Wiwandhana
Andrea Wiwandhana Mohon Tunggu... Wiraswasta - Digital Marketer

Menggeluti bidang digital marketing, dan saat ini aktif membangun usaha di bidang manajemen reputasi digital. Spesialis dalam SEO, dan Optimasi Google Business.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Capaian Palsu Era Konsumerisme

24 September 2024   10:43 Diperbarui: 24 September 2024   10:56 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di era yang dipenuhi oleh media sosial, gaya hidup mewah, dan keinginan untuk selalu terlihat sukses, kita sering kali dihadapkan pada konsep capaian yang tidak lebih dari ilusi. Di balik segala kemewahan dan pencapaian yang dipamerkan, terdapat kenyataan bahwa banyak dari itu hanyalah capaian palsu yang dikejar demi pencitraan belaka. Dalam masyarakat konsumerisme yang semakin mendominasi, kehidupan kita sering kali didikte oleh obsesi untuk terlihat lebih baik, lebih sukses, dan lebih mewah, meskipun itu semua mungkin tak lebih dari sebuah fatamorgana.

Sren Kierkegaard, seorang filsuf eksistensialis dari Denmark, pernah menulis tentang bagaimana manusia terjebak dalam kehidupan yang dangkal, di mana mereka terus menerus mencari pengakuan dari orang lain. Kierkegaard menggambarkan bahwa orang-orang seperti ini hidup dalam fase estetis, fase yang didominasi oleh pencarian kesenangan, pengakuan, dan kepuasan dari hal-hal yang sifatnya eksternal. Dalam konteks modern, ini tercermin dalam obsesi kita terhadap hal-hal yang terlihat indah dari luar, tetapi sering kali hampa dari dalam.

Salah satu fenomena terbaru yang menggambarkan capaian palsu di era konsumerisme adalah tren koleksi barang-barang mahal yang harganya tidak masuk akal. Misalnya, boneka "Labubu" yang viral di Indonesia. Boneka ini, meskipun sederhana, dijual dengan harga yang sangat tinggi dan justru semakin diminati. Mengapa sesuatu yang sederhana seperti ini bisa menjadi barang prestisius? Ini tidak lain karena pencapaian di era konsumerisme sering kali didefinisikan oleh status sosial dan kemampuan seseorang untuk memiliki barang-barang mahal.

Mahalnya barang-barang seperti Labubu bukanlah sekadar soal kualitas atau fungsionalitas, melainkan lebih kepada citra yang tercipta saat seseorang memilikinya. Di sinilah letak masalah utama dari capaian palsu: keberhasilan seseorang diukur bukan dari apa yang sebenarnya mereka lakukan atau hasilkan, tetapi dari apa yang mereka beli dan tunjukkan kepada dunia. Tren seperti ini hanya memperkuat gagasan bahwa di era konsumerisme, pencapaian didefinisikan oleh konsumsi, bukan oleh nilai atau kontribusi nyata yang diberikan kepada masyarakat.

Selain tren koleksi barang mewah, fenomena lain yang menunjukkan bagaimana capaian palsu merajalela di era ini adalah "Strava Jockey" di Indonesia. Strava, sebuah aplikasi untuk pelari dan pesepeda yang memantau aktivitas olahraga, telah menjadi simbol status bagi sebagian orang. Alih-alih menggunakan aplikasi ini untuk memotivasi diri dalam menjaga kesehatan, beberapa pengguna justru membayar "jockey" untuk berlari atau bersepeda menggantikan mereka. Tujuannya? Agar mereka terlihat lebih aktif dan produktif di hadapan teman-teman dan pengikut mereka di media sosial.

Apa yang bisa kita pelajari dari fenomena ini? Ini adalah contoh nyata bagaimana manusia lebih memilih untuk memalsukan pencapaiannya daripada berusaha mencapainya dengan usaha nyata. Dalam kasus ini, kesehatan, yang seharusnya menjadi tujuan utama dari olahraga, tergantikan oleh pencitraan dan keinginan untuk diakui sebagai individu yang aktif dan sehat. Di era konsumerisme, kita semakin terjebak dalam obsesi untuk mencapai standar yang kita buat sendiri, bukan untuk kepentingan kesehatan atau kebahagiaan kita, tetapi demi pengakuan dari orang lain.

Capaian palsu yang dibentuk oleh obsesi terhadap status sosial dan pencitraan ini tidak terbatas pada barang mewah atau kegiatan olahraga. Pada dasarnya, gaya hidup di era konsumerisme telah dibentuk oleh prinsip bahwa kebahagiaan dapat dibeli. Namun, masalahnya adalah kebahagiaan semacam itu tidak bertahan lama. Kita selalu merasa ada yang kurang, ada yang belum dicapai, dan akhirnya kita terus terjebak dalam siklus konsumsi yang tiada akhir.

Banyak dari kita merasa harus memiliki barang-barang terbaru, dari gadget hingga pakaian, atau mengikuti tren terkini hanya untuk mempertahankan citra diri yang sesuai dengan ekspektasi sosial. Apa yang kita beli sering kali bukan karena kebutuhan, tetapi karena dorongan untuk merasa "cukup" di mata orang lain. Ini membawa kita pada kehidupan yang terjebak dalam pengejaran materialistis yang kosong, di mana kita terus menerus berlari mengejar hal-hal yang sebenarnya tidak memberikan makna atau kepuasan sejati.

Sebagai manusia, kita sering kali merasa bahwa pencapaian diukur oleh apa yang bisa kita tunjukkan kepada orang lain. Barang mahal, liburan mewah, bahkan pencapaian fisik yang dipamerkan di media sosial telah menjadi standar untuk menilai keberhasilan seseorang. Ini adalah perangkap konsumerisme yang menempatkan kita pada jalur yang sempit, di mana keberhasilan hanya dihitung dari hal-hal yang bisa dibeli atau dipamerkan, bukan dari hal-hal yang benar-benar bermakna atau berdampak.

Untuk menghindari terjebak dalam ilusi capaian palsu, kita perlu merenungkan kembali apa yang sebenarnya kita kejar dalam hidup ini. Filosofi Sren Kierkegaard mengajarkan bahwa kehidupan yang bermakna tidak datang dari hal-hal eksternal seperti kekayaan, status, atau pengakuan dari orang lain, tetapi dari pemahaman yang lebih dalam tentang diri kita sendiri dan peran kita dalam kehidupan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun