Mohon tunggu...
Andrea Wiwandhana
Andrea Wiwandhana Mohon Tunggu... Wiraswasta - Digital Marketer

Menggeluti bidang digital marketing, dan saat ini aktif membangun usaha di bidang manajemen reputasi digital. Spesialis dalam SEO, dan Optimasi Google Business.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Pilih Wakil Rakyat yang Sudah Tidak di Tahap Mengejar Gaya Hidup Estetis

23 September 2024   13:02 Diperbarui: 23 September 2024   13:02 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saat tiba waktu pemilihan, kita sering dihadapkan pada pertanyaan yang tidak mudah: siapa yang layak dipilih sebagai wakil rakyat? Dalam iklim politik modern, kriteria pemilihan terkadang bergeser dari fokus pada kapabilitas, integritas, dan visi nyata ke arah penampilan luar atau gaya hidup yang ditampilkan para calon. Fenomena ini semakin kuat dengan kehadiran media sosial yang sering memoles citra seseorang hingga terlihat sempurna, tetapi kosong dalam esensi. Di sinilah pentingnya kita merenungkan kembali pilihan kita---apakah kita memilih seseorang yang benar-benar berkomitmen untuk melayani masyarakat atau hanya yang terlihat estetis dan glamor?

Dalam konteks ini, filosofi Sren Kierkegaard, filsuf eksistensialis dari Denmark, memberikan wawasan yang sangat relevan. Kierkegaard dalam salah satu karyanya menyinggung tentang tiga tahap kehidupan manusia, salah satunya adalah tahap estetis. Pada tahap ini, seseorang hidup hanya untuk kepuasan indrawi dan mengejar kenikmatan tanpa memperhatikan makna yang lebih dalam dari hidup. Gaya hidup semacam ini sering kali menjadi jebakan bagi banyak orang, termasuk mereka yang seharusnya berperan sebagai pemimpin.

Kierkegaard menyarankan bahwa kehidupan yang estetis, meskipun menarik dari luar, sering kali dangkal dan tidak mampu memberikan kepuasan jangka panjang. Manusia membutuhkan makna yang lebih dalam, baik dalam hidupnya sendiri maupun dalam interaksi sosial. Untuk itulah, sebagai pemilih, kita harus berhati-hati dalam menilai calon wakil rakyat. Apakah mereka hidup hanya dalam tahap estetis---berorientasi pada pencitraan, kekayaan, dan kemewahan---atau apakah mereka telah melampaui tahap tersebut dan memiliki kedalaman pemikiran serta tanggung jawab sosial yang nyata?

Fenomena gaya hidup hedonis di kalangan anak pejabat belakangan ini kembali menjadi sorotan. Kita sering mendengar berita tentang para calon pemimpin muda, yang seharusnya menjadi teladan, malah tenggelam dalam gaya hidup mewah yang dipamerkan tanpa rasa malu. Dalam beberapa kasus, anak pejabat yang hidup dengan gaya hedonis sering kali mengabaikan tanggung jawab mereka terhadap masyarakat. Mereka lebih sibuk memamerkan kekayaan di media sosial daripada bekerja untuk kepentingan publik.

Sebagai contoh, beberapa waktu lalu, publik Indonesia dikejutkan oleh berita tentang gaya hidup mewah anak seorang pejabat. Alih-alih berfokus pada tugas mereka sebagai pelayan masyarakat, mereka justru menikmati kemewahan di tengah sorotan publik. Fenomena ini tidak hanya mencerminkan perilaku individu tersebut, tetapi juga memperlihatkan sistem yang rusak di mana jabatan dan kekayaan sering kali diwariskan tanpa pertimbangan kapabilitas. Fenomena ini merusak kepercayaan publik dan menciptakan kesenjangan antara pemimpin dan rakyat yang mereka wakili.

Kita harus kritis terhadap kandidat yang hanya mengandalkan kekayaan dan status keluarga untuk meraih kekuasaan. Memilih pemimpin yang hanya berfokus pada estetika hidup---penampilan, kekayaan, dan pencitraan---tanpa visi nyata untuk perubahan hanya akan memperburuk kondisi bangsa.

Lebih dari setengah calon legislatif muda yang terpilih dalam beberapa tahun terakhir di Indonesia terindikasi berasal dari dinasti politik. Meski tidak semua anak pejabat berperilaku buruk, fakta bahwa kekuasaan sering diwariskan secara turun-temurun di dalam lingkaran keluarga pejabat membuat kita harus lebih jeli dalam memilih. Dinasti politik sering kali mengakibatkan kekuasaan terpusat pada sekelompok kecil elit, dan ini bisa merusak prinsip-prinsip demokrasi yang seharusnya berlandaskan pada meritokrasi dan kesetaraan kesempatan.

Menjadi bagian dari dinasti politik tentu memberikan keuntungan dalam hal akses dan jaringan. Namun, apakah mereka yang terpilih benar-benar memiliki kapabilitas yang diperlukan untuk memimpin? Atau mereka hanya mendapatkan jabatan karena nama belakang mereka? Ini adalah pertanyaan penting yang perlu kita renungkan. Memilih pemimpin bukan hanya soal penampilan atau hubungan darah, tetapi tentang komitmen, kapabilitas, dan integritas.

Sayangnya, tidak sedikit pemimpin muda yang terjebak dalam siklus dinasti politik ini menunjukkan perilaku yang jauh dari ideal. Mereka lebih sibuk memoles citra diri daripada memperbaiki keadaan bangsa. Alih-alih mendengarkan aspirasi rakyat, mereka justru sibuk mempertahankan status sosial dan gaya hidup mewah mereka.

Pemimpin yang baik tidak hidup hanya untuk dirinya sendiri, apalagi untuk estetika semata. Mereka harus mampu melampaui tahap estetis dalam hidup dan berkomitmen penuh pada tanggung jawab sosial yang diembannya. Sosok pemimpin yang layak dipilih adalah mereka yang hidup dengan kesadaran akan tanggung jawab yang lebih besar---baik kepada rakyat yang dipimpinnya maupun kepada masa depan bangsa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun