Mohon tunggu...
Andrea Wiwandhana
Andrea Wiwandhana Mohon Tunggu... Wiraswasta - Digital Marketer

Menggeluti bidang digital marketing, dan saat ini aktif membangun usaha di bidang manajemen reputasi digital. Spesialis dalam SEO, dan Optimasi Google Business.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Superiority Complex, Ketika Rasa Lebih Unggul Menguasai Diri

17 September 2024   10:56 Diperbarui: 17 September 2024   11:01 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

Di dalam kehidupan sosial yang semakin kompleks, kita sering kali dihadapkan dengan individu yang memiliki pandangan tinggi tentang dirinya sendiri, bahkan sampai merasa lebih baik daripada orang lain. Fenomena ini dikenal sebagai superiority complex atau "kompleks superioritas," di mana seseorang mengembangkan keyakinan bahwa dirinya lebih unggul daripada orang lain, baik dalam aspek kecerdasan, kemampuan, atau moralitas. Kondisi ini bisa memengaruhi cara seseorang berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya dan memiliki dampak serius terhadap kehidupan sosial dan emosional.

Namun, apa sebenarnya superiority complex itu? Mengapa sebagian orang mengembangkan kondisi psikologis ini, dan bagaimana dampaknya terhadap mereka serta masyarakat di sekitarnya? Mari kita telaah lebih dalam tentang fenomena yang sering kali sulit dipahami ini.

Superiority complex adalah kondisi psikologis di mana seseorang meyakini bahwa dirinya lebih superior dibandingkan dengan orang lain. Keyakinan ini sering kali tidak berdasarkan fakta objektif, tetapi merupakan manifestasi dari upaya individu tersebut untuk menutupi perasaan rendah diri atau ketidakamanan yang mendalam. Konsep ini pertama kali diperkenalkan oleh Alfred Adler, seorang psikolog Austria, yang percaya bahwa superioritas yang berlebihan sering kali merupakan cara seseorang untuk mengatasi kompleks inferioritas atau perasaan tidak berharga yang mereka alami.

Menurut Adler, superioritas bukanlah tanda kekuatan atau kepercayaan diri yang sejati, melainkan bentuk kompensasi yang tidak sehat. Orang dengan superiority complex sering kali merasa bahwa mereka harus menunjukkan keunggulan mereka secara terus-menerus untuk menutupi kekurangan yang sebenarnya ada dalam diri mereka.

Sebagai contoh, seseorang dengan superioritas kompleks mungkin akan selalu merasa bahwa pendapat mereka lebih valid, keputusan mereka lebih tepat, atau kepribadian mereka lebih ideal dibandingkan orang lain. Mereka cenderung mengabaikan kritik, menolak saran, dan merasa terganggu oleh pandangan yang berbeda. Hal ini pada akhirnya bisa mengganggu hubungan sosial, baik di lingkungan kerja, keluarga, maupun pertemanan.

Individu dengan superiority complex sering kali menunjukkan tanda-tanda yang mencolok dalam interaksi sehari-hari mereka. Orang dengan superiority complex cenderung sulit berempati dengan perasaan atau kebutuhan orang lain. Mereka terlalu fokus pada diri mereka sendiri dan meyakini bahwa pandangan mereka adalah yang paling benar, sehingga kurang mampu melihat dari perspektif orang lain. 

Kritik atau saran yang diberikan kepada mereka cenderung diabaikan atau dianggap sebagai ancaman. Mereka merasa bahwa setiap masukan yang bertentangan dengan pandangan mereka adalah bentuk penghinaan, dan mereka akan cenderung merespons dengan defensif atau marah. Meskipun mereka tampak penuh percaya diri, di balik fasad tersebut terdapat kebutuhan mendalam akan pengakuan dari orang lain. Mereka sering kali mencari validasi eksternal untuk mempertahankan citra superior mereka. 

Salah satu cara individu dengan superiority complex membangun citra superioritas mereka adalah dengan terus-menerus membandingkan diri mereka dengan orang lain. Mereka merasa perlu menunjukkan bahwa mereka lebih baik dalam berbagai aspek kehidupan, mulai dari pekerjaan, penampilan, hingga prestasi pribadi. Mereka yang memiliki superiority complex sering kali merendahkan orang lain untuk menjaga citra superior mereka. Dalam situasi sosial, mereka mungkin akan mengambil peran sebagai "pengkritik" yang selalu menunjukkan kekurangan orang lain dan berusaha untuk memperlihatkan bahwa orang lain tidak sebaik mereka.

Superiority complex bisa berkembang menjadi bentuk yang lebih ekstrem, yang dikenal sebagai god complex atau "kompleks ketuhanan." Seseorang dengan god complex merasa memiliki otoritas atau kekuasaan mutlak atas orang lain, dan mereka percaya bahwa keputusan, tindakan, atau pemikiran mereka tidak pernah salah. Dalam kondisi ini, seseorang merasa bahwa mereka berada di atas hukum moral atau sosial yang berlaku bagi orang lain.

Menurut artikel di Verywell Mind, god complex sering kali terlihat pada individu yang memegang posisi kekuasaan atau otoritas yang besar, seperti pemimpin politik, pengusaha, atau tokoh masyarakat. Mereka yang memiliki god complex merasa bahwa mereka tidak bisa salah, dan tindakan atau keputusan mereka tidak perlu dipertanyakan oleh siapa pun. Ini bisa berujung pada perilaku yang sangat merugikan, baik bagi individu tersebut maupun bagi orang lain di sekitarnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun