Winnie the Pooh, karakter beruang ikonik yang disukai banyak orang, telah menjadi subyek larangan di China sejak beberapa tahun terakhir. Larangan ini bukan karena isi cerita atau karakteristiknya yang berbahaya, melainkan karena alasan yang lebih politis. Dalam beberapa tahun terakhir, Winnie the Pooh telah digunakan oleh aktivis dan pengguna media sosial untuk menyindir Presiden China, Xi Jinping.
Sindiran terhadap Xi Jinping dengan menggunakan karakter Winnie the Pooh mulai muncul pada tahun 2013. Saat itu, sebuah foto yang menunjukkan pertemuan antara Xi Jinping dan Presiden AS saat itu, Barack Obama, beredar di internet. Pengguna internet dengan cepat memperhatikan kemiripan antara gambar tersebut dengan gambar Winnie the Pooh yang berjalan bersama Tigger. Meme ini segera menyebar luas, dan sejak saat itu, berbagai gambar dan meme yang membandingkan Xi Jinping dengan Winnie the Pooh terus bermunculan.
Respon pemerintah China terhadap meme ini sangat serius. Mereka menganggap perbandingan ini sebagai bentuk penghinaan terhadap pemimpin negara. Akibatnya, konten yang berkaitan dengan Winnie the Pooh mulai disensor di media sosial China. Bahkan, film "Christopher Robin" yang menampilkan karakter Winnie the Pooh dilarang tayang di China pada tahun 2018.
Larangan terhadap Winnie the Pooh ini menunjukkan bagaimana pemerintah China berusaha mengontrol citra dan reputasi pemimpin mereka. Hal ini juga mencerminkan pendekatan keras China terhadap kritik dan sindiran, bahkan yang berwujud dalam bentuk kartun anak-anak. Larangan ini menjadi simbol dari kebebasan berekspresi yang dibatasi di negara tersebut.
Larangan ini mendapat perhatian luas dari media internasional dan memicu berbagai reaksi. Banyak yang melihat tindakan ini sebagai langkah yang berlebihan dan tidak proporsional terhadap sindiran yang sebenarnya tidak berbahaya. Beberapa orang bahkan semakin memperkuat sindiran mereka sebagai bentuk protes terhadap tindakan sensor yang dilakukan oleh pemerintah China.
Kasus larangan Winnie the Pooh di China adalah contoh bagaimana simbol dan karakter sederhana bisa menjadi alat politik dan simbol perlawanan. Ini juga menggarisbawahi bagaimana pemerintah dengan rezim otoriter merespon kritik dan satir dengan tindakan keras, berusaha untuk mempertahankan citra dan wibawa pemimpin mereka dengan segala cara. Bagi banyak orang, kasus ini juga mengingatkan akan pentingnya kebebasan berekspresi dan bagaimana hal tersebut sering kali dibatasi di berbagai belahan dunia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H