Mohon tunggu...
Andreas Agil Munarwidya
Andreas Agil Munarwidya Mohon Tunggu... Guru - SMK IT Ihsanul Fikri Mungkid

Guru, Penulis, dan Sastrawan

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Studi tentang Konvensi Baik dan Benar dalam Masyarakat Menurut Psikologi Islam

17 Februari 2015   19:39 Diperbarui: 10 Februari 2023   10:43 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Perkembangan yang pesat di segala bidang menuntut manusia untuk terus aktif dan kreatif dalam menjalani kehidupan ini. Tidak dapat dimungkiri bahwa percepatan zaman yang terus terjadi dari hari ke hari memaksa manusia untuk terus berpikir keras dalam rangka mempertahankan eksistensi dan kehidupannya. Akan tetapi, percepatan dan perkembangan tersebut ternyata juga menyebabkan suatu kondisi di mana manusia akhirnya menjadi gila dan frustasi. Manusia-manusia yang tidak dapat mengelola hati dan pikirannya pasti akan terjebak dalam dua kondisi tersebut. Dan, dalam kasus ini, kondisi gila dan frustasinya manusia ternyata adalah penyebab dari berbagai macam keresahan-keresahan sosial yang ada di dalam masyarakat.

Penyimpangan-penyimpangan yang terjadi belakangan ini merupakan efek dari ketidaksiapan mental atau jiwa manusia dalam menghadapi tantangan hidup di dunia. Dengan kata lain, ketidakberesan yang sering terjadi di masyarakat sebenarnya adalah buah dari kegagalan manusia dalam memahami dan memaknai dirinya sendiri. Alhasil, fenomena sosial –khususnya yang negatif dan buruk-buruk– kini sudah menjadi makanan sehari-hari masyarakat kita. Disadari atau tidak, tidak sedikit berita-berita yang isinya menginformasikan tindak-tindak kriminal, asusila, serta kebiadaban manusia yang dahulu sangat jarang ditemui di zaman nenek kita masih muda. Sungguh, di era globalisasi ini, manusia seolah-olah terbiasa melakukan hal-hal yang mungkin dulu adalah tabu dan tidak beradab. Sebagai contoh, tidak sulit menemukan peristiwa di mana seseorang yang mati gantung diri karena terlilit masalah hutang atau karena penyakit yang tidak kunjung sembuh. Di zaman ini, tidak sulit menemukan kasus-kasus pemerkosaan atau tindak asusila lainnya yang pelakunya adalah para pelajar dan remaja yang berusia belasan tahun. Hari ini, tidak sulit menemukan berita yang isinya berkutat seputar penyalahgunaan uang negara alias korupsi. Miris memang. Akan tetapi, itulah yang kini terjadi di negeri ini. Oleh karena itu, sebagai manusia yang berada di sisi kewarasan dan ketidakfrustasian, sudah saatnya kita mengentaskan masalah yang mulai kronis dan berkarat ini. 

Perlu dipahami dengan saksama bahwa dibekalinya manusia dengan akal dan pikiran tentunya bukan tanpa tujuan sama sekali. Pembekalan ini bertujuan untuk mengentaskan masalah-masalah yang berhubungan dengan manusia itu sendiri –terlebih pada sisi-sisi yang berhubungan dengan mental dan kejiwaan. Dan, salah satu cara agar akal dan pikiran efektif dalam mengentaskan masalah manusia yang berhubungan dengan mental dan kejiwaan, yaitu dengan mempelajari satu ilmu yang bernama psikologi Islam. 


Sebuah Paradigma Baru

Menurut Djamaludin Ancok dan Fuad Nashori Suroso (1994), psikologi islam adalah ilmu yang berbicara tentang manusia, yang filsafat, teori, metodologi, dan pendekatannya didasarkan pada sumber-sumber formal islam. Senada dengan pendapat tersebut, Hanna D. Bastaman memberikan rumusan psikologi Islam sebagai berikut. 

Psikologi Islam adalah corak psikologi berlandaskan citra manusia menurut ajaran Islam, yang mempelajari keunikan manusia dan pola pikir manusia sebagai ungkapan pengalaman interaksi dengan diri sendiri, lingkungan sekitar, dan alam keruhanian, dengan tujuan meningkatkan kesehatan mental dan kualitas keberagaman.”

(Hanna D. Bastaman, 1997: 10)

 

Ada perbedaan yang mendasar antara psikologi pada umumnya –yang lebih condong pada paradigma Barat (Eropa)– dengan psikologi Islam. Dalam pandangan psikologi pada umumnya, ruang lingkup perkembangan mental atau jiwa manusia dilihat semenjak manusia ada di kandungan hingga hari di mana manusia itu mati, sedangkan dalam psikologi islam, perkembangan mental atau jiwa manusia mengalami perluasan pada dimensi spiritualnya. Psikologi pada umumnya menyatakan bahwa manusia tidak lebih dari organisme tubuh. Dalam psikologi ini, pikiran manusia hanya dimaknai sebagai suatu sistem syaraf yang saling terhubung. Akan tetapi, dalam psikologi Islam, manusia bukan organisme hidup yang mendasarkan dirinya pada otak atau pikirannya saja. Psikologi islam memosisikan manusia sebagai makhluk yang memiliki tiga potensi yang masing-masing berada di otak (fikriyah), tubuh (jasadiyah), dan hati (ruhiyah). Oleh karena itu, sederhananya, psikologi Islam adalah disiplin ilmu yang membahas permasalahan mental atau kejiwaan manusia dalam dimensi intelektual-material yang ada di pikiran serta emosional-spiritual yang ada di hati atau kalbu. 


Baik dan Benar, Keduanya Harus!

Kembali pada permasalahan yang muncul di dunia ini, psikologi Islam merupakan salah satu solusi awal dalam rangka mengentaskan ketidakberesan sosial yang timbul dari diri manusia itu sendiri. Dengan memadukan teknik dan metode dalam psikologi dan aturan-aturan Islam, disiplin ilmu ini mampu mengubah paradigma dan kebiasaan masyarakat Indonesia yang lebih mementingkan hasil dan cenderung mengabaikan proses yang benar. Fenomena sosial yang kerap hadir di ruang-ruang berbangsa dan bernegara diyakini muncul karena manusia-manusia egois yang lebih mementingkan inteletual-material. Dengan kata lain, masyarakat saat ini banyak yang menafikan dimensi emosional-spritual yang terepresentasi dalam bentuk moral. Manusia-manusia ini memandang bahwa keberhasilan itu ada pada wilayah hasilnya saja, sedangkan proses atau langkah-langkah menuju keberhasilan merupakan bentuk kesia-siaan yang mengurangi kecepatan cara berpikir manusia. Alhasil, manusia-manusia tersebut akan beranggapan bahwa keberhasilan hidup dunia itu yang penting hasilnya, tidak peduli caranya salah, yang penting hasilnya baik untuk semua. Padahal, proses yang baik (benar) akan menentukan hasil yang baik pula. Memang, tidak semua proses yang dilalui dengan urutan, prosedur, cara yang benar akan menghasilkan produk atau capaian yang baik. Akan tetapi, tidak tercapainya produk atau hasil yang baik bukan berarti produk atau hasil itu tidak baik. Tidak sama sekali! Sesuatu yang dilalui dengan benar, bila hasilnya tidak sesuai harapan, maka ia akan tetap dinamakan kurang atau belum baik, bukan tidak baik atau buruk. 

Inilah permasalahan psikologis yang kerap disepelekan oleh sebagian besar manusia. Tidak selarasnya kebaikan dengan kebenaran menimbulkan sebuah paradigma sesat di masyarakat di era globalisasi ini. Capaian manusia kini hanya berkutat pada hasil yang baik. Manusia –lebih luas lagi masyarakat– sekarang ini tidak lagi mengindahkan proses dan langkah-langkah yang benar sesuai dengan norma dan nilai luhur yang berlaku. Maka wajar saja bila yang terjadi adalah ketidakberesan sistem akibat masyarakat yang acuh tak acuh terhadap proses yang benar dengan menganggap bahwa jika hasilnya baik, mau caranya tidak benar, tidak masalah, yang penting hasilnya baik. Ah, padahal yang seperti inilah yang payah; yang salah. Sungguh, jika kita dapat melihat lebih dalam lagi, proses yang salah, pasti akan menghasilkan keputusan, hasil, atau capaian yang tidak baik. Kalaupun hasil itu baik, itu sebenarnya merupakan kebaikan yang berada pada kovensi keburukan. 

Boruch Spinoza (1677: 179 – 180) mengatakan, “Kita tidak menginginkan sesuatu karena kita meyakininya sebagai kebaikan, tetapi sebaliknya, sesuatu itu kita sebut baik karena kita menginginkannya. Tentunya, segala sesuatu yang kita benci, kita sebut buruk”. Dalam kesempatan lain, Spinoza mengatakan, “Kita mencari, menginginkan dan berusaha mendapatkan sesuatu bukan karena kita menganggapnya baik, tertapi sebaliknya, karena kita menginginkan, berusaha dan mencarinya, maka menyebut sesuatu itu baik. Dan, disadari atau tidak, konsep kebaikan dari Spinoza itulah yang menggejala di negeri ini. Apakah konsep tersebut benar? Apakah dengan memokuskan diri pada hasil saja merupakan tindakan yang tepat? Maka, psikologi Islam mencoba menjawab permasalahan ini. 

Sungguh, selain hasil (kebaikan), Islam juga mengajarkan kepada umatnya agar memperhatikan cara yang benar (kebenaran) sesuai dengan apa yang pernah dicontohkan Rasulullah Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wa sallam. Islam tidak pernah mengajarkan bahwa sesuatu yang kita inginkan adalah kebaikan. Karena bila ini yang terjadi, semua keinginan yang lebih banyak lahir dari nafsu malah akan menjerumuskan kita kepada keburukan. Hati menjadi tidak tenang, karena selalu dikejar-kejar ketidakpuasan. Keinginan ibarat syahwat, ia akan terus ada walau kadang hilang untuk sementara, artinya tidak akan pernah berhenti. Oleh karena itu, sudah saatnya masyarakat pada umumnya mengubah paradigma tentang keberhasilan yang harus dituju. Bukan hanya hasilnya, melainkan dengan cara atau langkah-langkah yang benar. Sesuatu bila dilakukan dengan cara yang benar, maka semua elemen yang ada, baik pikiran maupun hati, akan terasa nyaman dan tentram. Begitu pula sebaiknya, sesuatu yang dilakukan dengan cara yang salah, hasilnya akan berdampak pada psikis karena ia tetap saja tidak baik (buruk), walaupun mungkin baik di mata sebagian orang. Karena sungguh hasil itu sifatnya relatif. Berbeda dengan langkah-langkah, cara, atau proses, ia sangat konsisten karena konvensi yang ditetapkan sangat jarang bahkan tidak pernah berubah. Ketika manusia melakukan kesalahan, maka hasilnya pasti akan tidak baik. Apapun itu –terlepas manusia itu kemudian bertobat dan mengakui kesalahannya. Sama halnya ketika manusia itu melakukan kebenaran, hasilnya tentu menuju kepada kebaikan. Jika ternyata hasilnya tidak baik, maka itu berbeda dengan hasil ketidakbaikan dari kesalahan yang dilakukan. Seorang ayah yang berjuang menghidupi keluarganya dengan mencukupkan rezeki keluarganya adalah salah satu proses yang benar dalam berkeluarga. Hasil yang dituju juga baik, yaitu melimpahnya uang atau materi untuk menghidupi dan mencukupi kebutuhan keluarga sebagai bentuk rasa tanggung jawabnya. Akan tetapi, bila cara yang dilakukan seorang ayah tersebut adalah dengan korupsi, maka apakah hasilnya akan tetap baik walau keluarga bisa terhidupi dengan uang yang melimpah? Tentu kita akan berpikir ulang tentang hal tersebut. 


Kesimpulan

Pembahasan tentang psikologi bukanlah pembahasan yang boleh diperbincangkan oleh para pakar psikologi saja. Karena apabila kita sepakat bahwa psikologi adalah ilmu yang mempelajari tentang mental atau kejiwaan manusia, maka setiap manusia, entah itu pakar atau bukan, punya hak dan kewajiban untuk membahas dan memecahkan masalah yang berkaitan dengan mental atau kejiwaannya sendiri. Hal ini diperlukan agar manusia mampu mandiri dalam memecahkan masalahnya serta dapat menghadapi tantangan zaman yang semakin hari semakin berat dan berkembang. 

Lebih lanjut, ada pun psikologi yang tepat untuk dibahas dan dikembangkan guna mengentaskan fenomena-fenomena sosial yang ada kini adalah psikologi yang mendasarkan filsafat, teori, dan metodologi serta pendekatannya pada konsep Islam yang merupakan rahmat bagi seluruh alam atau rahmatan lil ‘alamiin: Psikologi Islam. 

Psikologi Islam hadir untuk mengakomodasi dimensi spiritual yang sering tidak diikutsertakan dalam ruang pembahasan psikologi pada umumnya. Disadari atau tidak, fenomena sosial yang terjadi di zaman ini awalnya disebabkan oleh hati yang tidak terjaga dengan baik (dimensi spiritual yang buruk). Hati yang di dalamnya termuat dimensi spiritual sebenarnya merupakan titik lemah yang dapat menjadi sumber dari segala masalah yang ada di dunia ini. Hati yang tidak terkelola dengan baik akan menimbulkan ketidakberesan tindak-tanduk manusia, yang tentunya dapat menciptakan masalah-masalah di lingkup yang lebih luas lagi (masyarakat). Oleh karena itu, agar masalah-masalah yang ada di masyarakat tidak timbul dan atau lekas selesai, pembenahan hati yang dimulai dengan mengintrospeksi diri melalui disiplin ilmu psikologi Islam menjadi wajib hukumnya. Karena dengan dipahaminya psikologi Islam bagi seluruh manusia di negeri ini, ketidakberesan sosial yang terjadi pasti dapat teratasi dan terselesaikan dengan baik dan benar. Permasalahan-permasalahan yang timbul dari diri (individual) yang berpotensi besar menjalar pada masyarakat (global) pasti tidak akan muncul dan atau musnah dengan sendirinya bila kita dapat memahami konvensi baik-buruk serta benar-salah dari segala sesuatu yang kita lakukan berdasarkan aturan Islam. 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun