Budi adalah seorang pengemis yang paling malang. Ia tidak mempunya apa-apa. Ia hanya seorang anak jalanan yang berkeliaran kemana-mana. Lapar, haus, kotor dan tak punya harapan hidup. Ia melewati harinya dengan meminta sedekah dari setiap orang yang dijumpainya. Dengan sebuah mangkuk kecil ditangannya, ia berjalan keliling, dari rumah ke rumah, dari kios ke kios dan dari warung ke warung. Harta satu-satunya yang boleh dikatakan miliknya adalah sebuah mangkuk tersebut. Ia menggunakan mangkuk itu untuk meminta sedekah kepada orang lain, tetapi dia juga menggunakannya untuk piring makan, gelas minum dan alas kepalanya ketika tidur. Mangkuk itu sekarang sudah kotor, kusam dan kelihatan berkarat.
Ia merasa rendah diri, tidak berharga dan tidak berguna. Dia merasa bahwa hidupnya adalah seperti parasit yang selalu menggantungkan kepada orang lain.
”Aduh betapa malang nasibku”, mengapa Tuhan melahirkan aku dalam keadaan seperti ini? ”tidak berguna”, tidak berarti apa-apa”.
Dengan pergaulannya dengan teman-teman sebayanya, Budi tidak dianggap sebagai manusia. Ia kadang-kadang malu-malu bila bertemu dengan orang lain. Ia gelisah, takut dan bingung. Dia seringkali cemburu bila melihat orang yang berhasil dan sukses, ia membenci orang yang kaya, bahkan dia juga membenci dirinya sendiri.
Keadaan susah dan tidak berdaya ini membuat Budi berjuang untuk mencari uang demi sepiring nasi.
.....Demi Allah, Pak! Sedikit uang saja..Saya belum makan. Saya lapar, Pak! Kasihanilah...Si penjaga kios mengatakan ”uang..uang...”kamu itu masih kecil, sudah meminta-minta,..seusia kamu itu harusnya belajar bukan meminta-minta seperti ini,..Sudah sana pergi..”
Bapak kios tersebut hanya memberi uang Rp 500,00. Budi merenungi nasibnya. Dia dengan kesal, menundukan kepalanya, belajar untuk menerima setiap luapan-luapan emosi dari setiap orang yang dimintai sedekah olehnya. Budi terus berjalan menuju sebuah tempat yang ramai dilalui oleh lalu lintas perkotaan. Budi agak begitu takut dan khawatir untuk menyeberang menuju pinggir tepi jalan, karena seluruh kendaraan bermotor melaju dengan cepat. Dia berhenti sejenak, menunggu kendaraan bermotor agak sepi, sambil melepas kelelahan, dia melihat ada sebuah warung di pojok jalan tersebut yang sangat ramai. Warung tersebut menjual makanan yang begitu sangat murah. Makanan tersebut seperti soto, bakso, rawon dll. Dengan semangat yang menggebu-gebu dan pantang menyerah, Budi datang dan meminta-minta sedekah diwarung tersebut. Dia sangat senang sekali karena cukup mendapatkan uang untuk makan hari ini. Tetapi apa boleh buat, ternyata ada segerombolan pengamen yang datang menghampiri Budi. Budi sangat takut dan pucat. Budi di ajak di suatu gang yang sepi dan salah satu gerombolan tersebut memukul, menendang dan merampas semua uang yang dipunyai oleh Budi.
Segerombolan pengamen itu mengatakan, ”hei bocah ingusan, kamu tahu atau tidak bahwa warung itu adalah daerah kami.” ”Kamu tidak boleh masuk dan meminta-minta di warung tersebut.” ”Itu adalah kuasa kami.”
Sekitar Rp 10.000,00 uang hasil sedekahan tersebut jatuh ditangan segerombolan pengamen. Dengan perasaan yang kesal, si Budi menampakan muka yang murung. Dia tidak mau meminta sedekah diwarung-warung atau dikios-kios. Akhirnya dengan hati yang menggerutu, diaberjalan dan duduk termenung sendirian meratapi hidupnya. Dia duduk di sebuah tembok pinggir kota dengan alas mangkuk yang selalu dibawanya keman-mana.
Dia berdoa kepada Tuhan: mengapa hidup ini tidak adil? Apa salahku Tuhan? Harusnya aku belajar dan bermain dengan teman-teman, tetapi bagaimana aku sekarang? Banyak orang yang membenciku. Banyak orang yang mengatakan aku kotor, tidak berguna, anak ingusan yang hanya menggantungkan kepada orang lain. Mana berkat yang Engkau berikan kepadaku?
Budi memandang ke atas dan melihat bintang-bintang diangkasa dengan suatu harapan yang tidak pasti. Ketika dia duduk dan merenungi nasibnya, tiba-tiba ada seorang ibu tua yang berteriak.
”Tolong-tolong, ada copet, dia telah mengambil tasku.”
Budi melihat kejadian itu dan bergegas untuk membantu ibu tua itu. Dia melihat ada seorang pemuda yang berlari dengan kencang membawa sebuah tas ditangannya. Budi langsung berlari dan mengejar pemuda tersebut. Dia berlari dan mengikuti pemuda itu. Menuju sebuah gang, jalan yang sempit dia berusaha mengejar pemuda tersebut. Dengan sekuat tenaga, si Budi berlari dengan kencang, dia berpikir bagaimana aku bisa membantu ibu tua tersebut dan mendapatkan tas itu. Dia teringat bahwa dia membawa sebuah mangkuk yang selalu ada ditangannya, lalu dengan cekatan si Budi melempar mangkuk tersebut menembaknya dikepala si pemuda tersebut. Alhasil, mangkuk itu tepat mengenai si pemuda tersebut dan ”tong” suaranyaterdengar oleh si budi. Pemuda tersebut merintih kesakitan. Áduh..aduh..dia memegang kepalanya yang terbentur oleh mangkuk Budi, tas itupun akhirnya terjatuh dan budi mengambil batu dan melempar si pemuda tersebut kembali dan akhirnya, si pemuda tersebut lari terbirit-birit.
Budi mengambil tas yang jatuh dan membawanya kepada ibu tua. O, si Budi lupa, bahwa mangkuknya!!! O ya, dimana ya?? ternyata mangkuk tersebut jatuh di sebuah selokan yang sangat jorok dan kotor. Budi ingin mencari mangkuknya karena itu adalah harta yang paling berharga. Budi mencari mangkuk tersebut, dan ternyata, wau..wau.. mangkuk tersebut terseret oleh air selokan..yang begitu deras arusnya. Selokan tersebut seperi sungai yang kotor yang berada ditengah kota. Mangkuk itu terhempas dan terhanyut oleh air, dia menyesal tidak bisa mendapatkanya.
”Aduh..Tuhan,...mangkukku hilang...Apa yang aku punyai telah tidak ada..”
Dia kecewa dan kesal sekali. Dia dengan muka yang murung dan sedih mengembalikan tas kepada ibu tua tadi.
Ibu ini tasmu, Aduh nak, terima kasih. Tanpa kamu tasku pasti sudah lenyap dicopet oleh pemuda sialan tadi. Di tas tersebut banyak barang berharga, ada uang perhiasan dll. Untung ada kamu yang berani mengejar copet itu. Sekali lagi terima kasih ya nak..Kamu sudah makan.. Begini saja, ini ada uang dari ibu..Ibu tersebut memberi uang kepada Budi Rp 50.000,00.
Si budi menolak pemberian tersebut, tetapi ibu tua tetap memaksa Budi untuk menerima uang tersebut. Sudahlah, ambilah ini untuk keperluanmu..Terima kasih bu..
Meskipun Budi mendapatkan uang Rp 50.000,00. Budi tetap bersedih dan kecewa sekali karena mangkuk kesayangannya telah lenyap di bawa arus air. Budi dengan kecewa duduk dipinggir tepi jalan kota. Dia menangis dan meneteskan air mata. Dia sedih sekali. Kemudian, ada seorang kakek tua yang membawa barang rongsokan (pemulung) datang menghampiri anak tersebut.
”Ada apa to nak, kok kamu menangis..”Apa yang kamu sesali..”Budi dengan sedih mengatakan, ”mangkukku lenyap ditelan arus air.” ”Emangnya sungguh berharga ya mangkuk itu,” tanya, kakek tua itu. ”Ya, manggkuk itu sungguh berharga untukku.” ”Dia yang selalu menemaniku kemana aku pergi.” Barang itu adalah pemberian dari ibuku. Ibuku sekarang sudah tiada satu tahun yang lalu. Barang itu sangat antik dan mahal harganya. Dia adalah barang yang sungguh berguna, ketika aku meminta-minta, mangkuk itu menjadi tempat permohonanku, ketika aku lapar mangkuk itu menjadi piringku, ketika aku haus, mangkuk itu menjadi gelasku..”Mangkuk itu adalah teman hidupku.” Kakek itu mengatakan, ”sudahlah nak, jangan kau sesali.” Ada satu hal yang penting, menurut kakek, hal yang paling berharga adalah dirimu sendiri. Kakek bangga bisa melihat kamu bisa berjuang untuk menjalani hidup ini. Kamu adalah orang yang unik dan tidak ada duanya di dunia ini. Sudah jangan menangis, ayo sekarang kamu hidup bersama dengan kakek (sambil mengelus kepala Budi). Ayo sekarang kita makan yang enak, dan setelah ini kita pulang tinggal ditempat kakek.
Akhirnya Budi tinggal dengan kakek tua di sebuah gubug kardus ditengah kampung kota. Budi senang sekali tinggal bersama kakek tua tersebut. Kesokan harinya, Budi membantu kakek tua tersebut untuk mencari barang rongsokan dan dijual kepada agen barang bekas. Setelah beberapa bulan, si Budi dapat sekolah dengan uang dari hasil kerja kakek tua tersebut. Budi senang dengan kehidupanya sekarang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H