Mohon tunggu...
Andreas Hassim
Andreas Hassim Mohon Tunggu... -

Andreas Hassim adalah seorang bankir profesional, perjalanan karir dimulai dari Bank Danamon Indonesia kemudian hijrah ke Bank Rakyat Indonesia sampai saat ini. Dan saat ini sedang mendapat tugas belajar pasca sarjana di Cleveland State University, Ohio, Amerika Serikat. Selain sebagai seorang praktisi perbankan ybs sangat tertarik menulis analisis berkaitan dengan makro ekonomi, perbankan & keuangan serta tulisan-tulisan ringan dalam mengkritisi kehidupan. Beberapa tulisan sudah dimuat di Investor Daily, Kontan, Majalah Infobank dan majalah-majalah Internal BRI

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Perbankan, Fintech dan Pergeseran Paradigma

28 Mei 2015   19:11 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:30 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

OPINI HARIAN BISNIS INDONESIA 26 MEI 2015

Oleh: Andreas Hassim,

Perbankan Nasional yang saat ini dilanda perlambatan kinerja keuangan mengalami dua tantangan serius dalam pengelolaan bisnisnya ke depan. Pertama adalah munculnya produk-produk substitusi yang dikenal sebagai layanan Fintech (Financial Technology) dari perusahaan non perbankan seiring dengan perkembangan teknologi. Kedua adalah tuntutan manajemen risiko yang terpadu dengan bergesernya paradigma too big to fail menjadi too complex to resolve. Oleh sebab itu, perbankan perlu memberi perhatian kepada dua fenomena ini sebagai upaya preventif untuk menjaga kesinambungan kinerja keuangan bank di masa yang akan datang.

Layanan Fintech

Inovasi produk dan layanan perbankan telah menjadi hal yang mutlak untuk dilakukan secara terus menerus. Bahkan, ekonom legendaris Joseph Schumpeter pernah mengatakan "the competition posed by new products was far more important than marginal changes in the prices of existing products" yang dapat diterjemahkan bebas bahwa kompetisi yang terjadi karena produk-produk baru jauh lebih penting daripada hanya sekedar perubahan harga dari produk-produk yang sudah ada. Hal ini bisa dengan mudah digambarkan dengan berakhirnya bisnis toko buku di Amerika Serikat (AS) ketika digantikan oleh Amazon.com ataupun bisnis kantor pos mengantarkan surat yang digantikan dengan fungsi surat elektronik (e-mail/electronic mail). Perbankan sendiri mengalami tekanan lewat perusahaan non bank yang dikenal dengan istilah shadow banking yang menawarkan produk dan layanan keuangan yang serupa.

Sebagai gambaran tuntutan inovasi tersebut, Majalah The Economist Edisi kedua di bulan Mei 2015 ini menggambarkan tekanan yang hebat terhadap bisnis perbankan. Hal ini dapat terlihat ketika dua sumber utama pendapatan perbankan yaitu pertama dari selisih (margin) suku bunga penyimpan dan peminjam dan kedua adalah layanan transaksional yang menghasilkan pendapatan berbasis komisi (fee based income/FBI). Keduanya, saat ini dapat digantikan oleh perusahaan lain. Pada pendapatan yang berasal dari selisih suku bunga penyimpan dan peminjam yang membutuhkan keahlian pada analisis kelayakan peminjam, The Economist menggambarkan bahwa layanan Fintech yang dilakukan perusahaan non perbankan mampu melampaui keakuratan analisis bank bahkan dalam melakukan proyeksi keuangan melalui kemajuan teknologi. Lebih dari itu, pola peer to peer lenders yaitu mempertemukan peminjam dan pemberi pinjaman lewat mekanisme dalam Fintech ini, dapat memitigasi risiko maturity mismatch yang sekaligus menghindari lembaga tersebut dari praktik bank gagal atau bank run yang dapat berakhir pada risiko sistemik.

Kemudian, di tengah perkembangan Fintech pada layanan transaksional sebagai sumber penghasilan bank berupa FBI, lagi-lagi bisnis perbankan modern mengalami tekanan dari bisnis-bisnis lain yang mensubstitusi produk dan layanan perbankan tradisional tersebut. Di AS, Wells Fargo yang memiliki basis di California atau wilayah Barat  AS, hari-hari ini tidak lagi berkompetisi dengan Bank of America melainkan mendapat tekanan dari “Silicon Valley” (suatu kawasan di wilayah Barat AS yang merupakan kumpulan perusahaan teknologi). Perusahaan-perusahaan teknologi tersebut memberikan layanan jasa pembayaran (cash management, payroll, dll.) kepada perusahan-perusahaan, sekolah, dan instansi-instansi lainnya dengan layanan yang inovatif sekaligus murah. Lebih dari itu, Chief Executive Officer (CEO) JP Morgan & Chase (JPM), Jamie Dimon menyampaikan tantangan ini kepada para pemegang saham (shareholder) JPM bahwa “Silicon Valley is coming” (Silicon Valley datang). Dimon sendiri menegaskan bahwa saat ini ada ratusan bisnis telah dimulai dengan sejumlah ide cemerlang dan modal yang kuat untuk menggantikan praktik perbankan tradisional.

Lebih dari itu, Accenture Consultant mencatatkan data pertumbuhan investasi atau belanja modal perusahaan Fintech naik 201% secara global. Hal ini memperjelas bahwa revolusi digital pada industri keuangan sedang berjalan dan perlu diwaspadai. Seiring dengan tuntutan perkembangan Fintech seperti digambarkan di atas maka perbankan perlu mengadopsi secara besar-besaran talenta-talenta dari dunia teknologi informasi dan komunikasi (Information & Communication Technology/ICT) sehingga akan lebih mudah mengadopsi perkembangan teknologi. Bahkan perusahaan-perusahaan sekelas Google, Facebook, Amazon dan Baidu rela membayar mahal ahli-ahli terkait pengembangan artificial intelligence guna melancarkan proyek-proyek inovasi.

Too Complex to Resolve

Selain melakukan inovasi produk dan layanan, perbankan harus cermat menentukan langkah untuk mampu bertahan di kala ketidakpastian ekonomi melanda sehingga terhindar dari pemburukan kinerja sampai dengan risiko bank gagal (failure bank). Jika dulu kita mengenal istilah too big to fail dalam penyelamatan bank namun saat ini sudah muncul istilah baru yaitu too complex to resolve yang menunjukkan bahwa regulator di beberapa negara maju sedang berupaya menguraikan risiko-risiko perbankan tersebut sehingga tidak memiliki dampak turunan ke sektor-sektor lain. Konkretnya, bank dituntut memecah segmen-segmen bisnisnya sehingga dapat terkendali kinerjanya dan jika salah satu segmen bisnisnya tidak optimal ataupun gagal dapat segera dimatikan sebelum hal itu menghantam bisnis bank secara keseluruhan.

Oleh sebab itu, perbankan perlu memiliki kendali terhadap masing-masing segmen bisnis secara komprehensif. Sejalan dengan tren regulator di beberapa negara maju yang mencoba memisahkan bisnis-bisnis bank untuk menghindari risiko sistemik seyogianya dapat diadopsi oleh perbankan domestik untuk mampu menggukur keberhasilan masing-masing segmen bisnisnya secara akurat. Bahkan akan lebih baik lagi jika perbankan mampu mengukur produktivitas setiap produknya sehingga bisnis perbankan dapat terkendali dengan baik dan obyektif.

Belajar dari industri perbankan di negara-negara maju yang terus mendapat tekanan dari industri teknologi maupun regulasi yang ketat semestinya menjadi pelajaran berarti bagi perbankan domestik untuk lebih dulu mempersiapkan diri dalam mengantisipasi gelombang produk dan layanan keuangan yang menggantikan praktik perbankan tradisional maupun belajar dari kesalahan perbankan negara maju sehingga mendorong kemunculan kebijakan-kebijakan atau strategi-strategi yang lebih produktif.

Andreas Hassim, praktisi dan pemerhati perbankan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun