Mohon tunggu...
Andreas Hassim
Andreas Hassim Mohon Tunggu... -

Andreas Hassim adalah seorang bankir profesional, perjalanan karir dimulai dari Bank Danamon Indonesia kemudian hijrah ke Bank Rakyat Indonesia sampai saat ini. Dan saat ini sedang mendapat tugas belajar pasca sarjana di Cleveland State University, Ohio, Amerika Serikat. Selain sebagai seorang praktisi perbankan ybs sangat tertarik menulis analisis berkaitan dengan makro ekonomi, perbankan & keuangan serta tulisan-tulisan ringan dalam mengkritisi kehidupan. Beberapa tulisan sudah dimuat di Investor Daily, Kontan, Majalah Infobank dan majalah-majalah Internal BRI

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Transformasi Perbankan di Tengah Likuiditas Ketat

18 Desember 2014   12:54 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:04 197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Transformasi Perbankan di Tengah Likuiditas Ketat

Oleh: Andreas Hassim

Telah dimuat di Harian Investor Daily 17 Desember 2014

Perbankan Nasional hari-hari ini mengalami tantangan terutama dikarenakan ketatnya likuiditas di dalam negeri. Dana Pihak Ketiga (DPK) hanya tumbuh 13.32% year on year (yoy) sampai dengan September 2014 dan hal ini tentunya menahan laju kredit yang hanya tumbuh 13.29% yoy. Selain itu, Net Interest Margin (NIM) pun mengalami tren menurun dikarenakan persaingan yang semakin kompetitif dalam mengumpulkan DPK maupun menyalurkan kredit. Oleh sebab itu, perbankan ke depan perlu membaca situasi ini dengan menyiapkan strategi jitu untuk melakukan transformasi.

Likuiditas Ketat

Tren pertumbuhan DPK yang lambat dan pertumbuhan kredit yang senantiasa melewati 20% dalam lima tahun terakhir ini telah mengerek Loan to Deposit Ratio (LDR) dari 72.88% di tahun 2009 menjadi 88.93% di September 2014. Apabila tren LDR tinggi ini berlanjut maka ruang pertumbuhan kredit menjadi sangat terbatas, apalagi daya serap perbankan terhadap perekonomian (Produk Domestik Bruto/PDB) masih terbatas. Ketatnya likuiditas perbankan tentunya akan mempengaruhi peran perbankan dalam menjalankan fungsinya sebagai agen pembangunan.

Selain itu, prospek likuiditas pun masih akan ketat dalam beberapa waktu ke depan mengingat defisit APBN yang ditutup melalui penerbitan surat utang Negara (SUN), defisit neraca perdagangan, serta perlambatan ekonomi domestik. Hal tadi masih ditambah pengaruh global dimana perbaikan perekonomian Amerika Serikat (AS) telah membuat pemerintah AS menghentikan program pelonggaran moneter (quantitative easing) maupun rencana penaikan suku bunga The FED. Kondisi ini membuat para investor global kembali melirik AS sebagai tempat investasi yang paling aman.

Sebagai langkah pelonggaran likuiditas perbankan, Bank Indonesia saat ini telah mewacanakan Loan to Funding Ratio (LFR) dimana bank dapat mencari likuiditas dengan menerbitkan surat utang, namun pertanyaannya adalah seberapa besar kekuatan pasar menyerap obligasi dimaksud di tengah ketatnya likuiditas dalam negeri.

Net Interest Margin (NIM)

Pada sisi NIM, terjadi tren penurunan yaitu dari 4.89% di Desember 2013 menjadi 4.21% di September 2014. Pada satu sisi, hal ini berdampak positif terhadap daya saing kegiatan usaha dengan suku bunga kredit yang lebih kompetitif dan perbankan pun menjadi semakin efisien dalam beroperasi.

Apabila dibandingkan dengan Negara-negara di kawasan ASEAN saja, NIM perbankan domestik terbilang tinggi karena NIM di Singapura hanya di level 2.1%, Malaysia 2.67% dan Thailand 3.41% dengan Cost Efficiency Ratio (CER) yang relatif sama dengan perbankan nasional yaitu berkisar 40-50%. Sejatinya dengan perbedaan (spead) NIM yang lebih tinggi pada perbankan nasional sejatinya akan memberikan tambahan pendapatan bunga yang seyogianya dapat menurunkan rasio CER.

Namun demikian dari sisi perbankan, penurunan NIM akan berimplikasi pada kemampuan bank mendapatkan pendapatan yang akan berujung pada prospek kinerja laba yang semakin terbatas, padahal 68% total pendapatan perbankan domestik masih berasal dari pendatan bunga.

Transformasi Perbankan

Melihat fenomena likuiditas dan NIM di atas maka terlihat jelas bahwa iklim kompetisi akan semakin ketat dan prospek pertumbuhan perbankan menjadi sangat terbatas. Oleh sebab itu, perbankan perlu mempersiapkan langkah-langkah strategis.

Pertama, perbankan perlu melakukan inovasi produk dan layanan untuk menyerap aktivitas ekonomi masyarakat maupun untuk menciptakan pendapatan non bunga atau pendapatan berbasis komisi (Fee Based Income). Sejalan dengan semangat Bank Indonesia yang menciptakan masyarakat non tunai dengan Gerakan Nasional Non Tunai (GNNT) maka akan membuka potensi besar bagi perbankan menciptakan produk dan layanan guna menggarap underground economy (aktivitas ekonomi yang tidak masuk/terdeteksi dalam sistem keuangan).

Kedua, perbankan perlu melakukan inovasi dalam bisnis prosesnya agar lebih produktif, efektif dan efisien. Salah satu langkah melakukan hal ini adalah pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi (TIK). Langkah investasi perbankan pada TIK seyogianya dapat dikompensasi dengan penurunan biaya operasional dan peningkatan pendapatan. Dengan fasilitas TIK pada produk dan layanan perbankan tentunya memberikan kemudahan bagi para nasabah melakukan self service (layanan mandiri) yang tidak membutuhkan fisik kantor (brick & mortar) sehingga ongkos sewa kantor dan bahkan formasi tenaga kerja pun dapat diturunkan. Keberhasilan perbankan mengedukasi para nasabahnya untuk memanfaatkan produk dan layanan self service ini akan menjadi kunci sukses. Bahkan perbankan di beberapa Negara maju menerapkan sistem pricing yang dihitung berdasarkan frekuensi penggunaan tenaga kerja.

Apabila menengok data penetrasi kantor cabang di Indonesia pada tahun  2012 sudah mencapai 9.49 kantor cabang di setiap 100.000 penduduk yang hanya berbeda tipis dengan Singapura yaitu 9.76 kantor cabang di setiap 100.000 penduduk. Hal ini dapat menunjukkan bahwa penetrasi kantor bank fisik di kota-kota besar di Indonesia sudah relatif menyamai Negara maju. Oleh karena itu, perbankan harus terus berupaya mendorong para nasabahnya menggunakan berbagai jaringan kerja elektronik yang dapat menurunkan biaya overhead-nya.

Contoh lain dalam pemanfaatan TIK dalam proses bisnis adalah pemanfaatan sarana komunikasi yang memungkinkan rapat ataupun mengerjakan suatu perkerjaan dan bahkan memberikan suatu keputusan bisnis dengan sistem tanpa harus bertemu fisik. Tentunya berbagai kemudahan tadi dapat menurunkan ongkos operasional. Selain itu, untuk fungsi non operasional dapat dipertimbangkan jika dibuat menjadi 4 hari kerja di kantor dan 1 hari bekerja di rumah. Tentunya hal ini menjadi sangat kontroversial, namun perlu dihitung cost and benefit-nya (pengurangan biaya transportasi, listrik, dan fasilitas lainnya) dan jam kerja seperti ini sudah lazim di beberapa negara maju.

Ketiga, menciptakan competitive advantage (daya saing). Dalam upaya menjaga pertumbuhan yang berkelanjutan setiap perusahaan harus memiliki daya saing produk yang sulit ditiru kompetitor. Secara generik, Michael Porter, dalam bukunya Competitive Strategy, mendefinisikan lima strategi daya saing yaitu overall low cost provider (biaya rendah menjadi daya saing), broad differentiation (variasi produk menjadi daya saing), focused (market niche) low-cost strategy (pada segmen/niche tertentu menawarkan produk berbiaya rendah), focused (market niche) differentiation (pada segmen/niche tertentu menawarkan variasi produk), dan best cost provider (perpaduan biaya dan variasi produk). Berangkat dari teori daya saing ini, para pemimpin dapat menentukan arah daya saing perusahaannya.

Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK)

Dari sisi regulator, ketatnya likuiditas tentunya memberi sinyal ancaman terhadap bahaya laten bank run/bank rush (nasabah simpanan menarik uangnya secara massif) karena terjadi maturity mismatch antara sisi aktiva (kredit) dan sisi pasiva (simpanan) perbankan. Oleh sebab itu, pemerintah bersama legislatif tidak boleh lengah dalam merampungkan Undang-Undang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (UU JPSK) sehingga langkah-langkah penyelamatan dapat segera diambil pada saat yang tepat tanpa takut lagi tersangkut kasus hukum.

Ketika kondisi bisnis tidak seperti biasanya maka pelaku bisnis perlu menyiapkan langkah-langkah yang juga tak biasa sehingga transformasi dapat terjadi untuk perbaikan industri secara utuh. Inovasi tak selamanya bersifat pengembangan dari kondisi existing (continuous innovation) tapi dapat pula berupa inovasi yang mengganti total kondisi existing (disruptive innovation). Perbankan Nasional membutuhkan regulator dan bankir yang mampu bertindak out of the box untuk melakukan lompatan menuju industri perbankan yang tangguh.

Andreas Hassim, praktisi dan pengamat perbankan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun