Mohon tunggu...
Andreas Eko Soponyono
Andreas Eko Soponyono Mohon Tunggu... Guru - Educator | Active Learner

Blessed to be a blessing!

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Dampak Positif & Negatif Media Massa Dilihat dari Perspektif Literasi Media & Teori Kultivasi Media Massa

28 November 2021   14:08 Diperbarui: 28 November 2021   14:14 5047
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

2.2.2 Jenis-jenis Literasi Media

Jenis-jenis literasi media berdasarkan basis yang digunakan menurut Raffety dalam Sabarudin (2020, hal. 16-17) sebagai berikut:

  • Literasi Alfabetis atau Literasi Berbasis Teks

Terbagi dalam tiga kategori:

  • Literasi Naratif

Kemampuan belajar seseorang untuk membaca, misalnya dalam bentuk prosa.

  • Literasi Ekspositori

Kemampuan “membaca untuk belajar”, yang berupa perilaku menempatkan, mengolah, menafsirkan bentuk-bentuk konten media, mulai dari visual, audio, maupun audio visual.

  • Literasi Dokumen

Kemampuan “membaca untuk melakukan”, untuk bisa melakukan penafsiran dan penerapan informasi sesuai dengan tujuan tertentu.

  • Literasi Representasional

Kemampuan analisis informasi untuk bisa memahami makna yang terkandung.

  • Literasi Perkakas

Kemampuan secara teknis, yaitu terkait penggunaan teknologi dan computer untuk mengetahui pengetahuan tentang apa (deklaratif), bagaimana (prosedural), serta kapan, dimana, mengapa dan dalam kondisi apa (kondisional).


Jenis-jenis literasi media berdasarkan ragam medianya menurut Harnita (2017, hal. 124), yaitu:

  • Literasi Media Cetak

Media cetak yang seringkali digunakan seperti; surat kabar, majalah dan tabloid. Kehadiran media cetak di akhir-akhir ini cukup berkurang akibat hadirnya internet. Namun, pembaca juga tetap harus melakukan literasi. Hingga saat ini, ada beberapa media cetak yang masih bertahan seperti Kompas meskipun terintegrasi dengan model online.

  • Literasi Televisi

Televisi memiliki keunggulan dari media cetak, selain bisa menampilkan teks, penonton bisa mendapatkan informasi melalui suara, sekaligus visualnya. Kini televisi juga semakin terancam dengan adanya media baru.

  • Literasi New Media (Internet)

Internet menjadi ancaman serius bagi media-media lama. Perpaduan media cetak dan elektronik di kemas sedemikian baik dalam berbagai situs dan aplikasi berbasis internet. Literasi internet sangat diperlukan saat ini karena kuantitas penggunaan yang sangat dominan digunakan saat ini.

Jenis-jenis literasi media berdasarkan cakupannya menurut Bertelsmann & Warner (2002) dalam Sari, et al (2015, hal. 167), yaitu:

  • Literasi Teknologi

Kemampuan memanfaatkan media baru seperti internet agar bisa memiliki akses dan mengkomunikasikan informasi secara efektif.

  • Literasi Informasi

Kemampuan mengumpulkan, mengorganisasikan, menyaring, mengevaluasi dan membentuk opini berdasarkan hal-hal tadi.

  • Kreatifitas Media

Kemampuan yang terus meningkat pada individu di mana pun berada untuk membuat dan mendistribusikan konten kepada khalayak berapapun ukuran khalayak.

  • Tanggung Jawab dan Kompetensi Sosial

Kompetensi untuk memperhitungkan konsekuensi-konsekuensi publikasi secara online dan bertanggung jawab atas publikasi tersebut, khususnya pada anak-anak.

2.3 Teori Kultivasi (Cultivation Theory)

Teori ini dikembangkan oleh George Gerbner (1973), yang mengungkapkan bahwa televisi yang merupakan media massa berbentuk elektronik menjadi alat penting dalam mempelajari budaya dan kehidupan serta nilai-nilai masyarakat umum, sekaligus membentuk gambaran kenyataan yang kurang selaras. Ardianto, Komala, & Karlinah (2017, hal. 66) memberikan contoh dari teori kultivasi berupa seorang yang memiliki intensitas yang tinggi dalam menonton televisi menganggap peluang orang menjadi korban kejahatan sebesar 10%, namun peluang kenyataannya 2%.

Berdasarkan pemaparan tersebut, ada beberapa konsep dalam teori kultivasi, yaitu:

  • Televisi sebagai bentuk media massa eletronik memiliki peran dalam memberikan pembelajaran akan budaya, kehidupan dan nilai masyarakat umum. Pesan atau informasi yang disampaikan media massa televisi akan membentuk gambaran terhadap masyarakat baik secara budaya, kehidupan, maupun nilai yang berlaku.
  • Televisi menjadi media massa yang memiliki dominasi yang tinggi dalam intensitas dari sisi kuantitasnya maupun efek yang diberikan. McQuail (2011, hal. 257) menyebut teori ini sebagai proses interaktif antara pesan dan khalayak. Hal ini menunjukkan bahwa gambaran akan budaya, kehidupan dan nilai masyarakat yang dipahami oleh seseorang sangat dipengaruhi dari televisi dalam pengemasan penyampaiannya. Artinya, media massa televisi dapat membentuk persepsi atau cara melihat masyarakat akan suatu kejadian dalam kehidupan kesehariannya.
  • Efek dari masyarakat yang terkultivasi oleh media massa televisi dipengaruhi oleh banyak faktor, misalnya; tingkat pendidikan, pekerjaan, kondisi ekonomi, jenis kelamin, pengalaman yang pernah dijalani, serta ideologi/pandangan hidup yang dimilikinya. Artinya, efek yang diterima oleh penonton tidak sama tergantung dari banyak faktor yang mempengaruhinya.
  • Teori kultivasi memiliki karakter yang memerlukan waktu banyak dan terjadi dari bagian yang makin bertambah (kumulatif). Artinya, berdasarkan teori kultivasi ini, media massa televisi memberikan efek dalam jangka panjang dan bersifat kumulatif dalam diri seseorang. Gerbner & Gross (1976) dalam McQuail (2011, hal. 257) menyatakan bahwa semakin banyak masyarakat menonton televisi, maka media massa televisi juga semakin memberi efek hiperbola terhadap pesan yang disampaikannya.
  • Kultivasi dari media massa elektronik televisi dapat merubah posisi pemikiran sederhana menuju pemikiran yang ekstrim. Hal ini berarti bahwa kultivasi dapat membentu pemikiran baru atau pembaharuan pemikiran dari pemikiran sebelumnya, sesuai dengan yang dikemas oleh media massa televisi.

 

III. PEMBAHASAN

Terpaan media massa dapat diartikan sebagai kegiatan mendengar, melihat, dan membaca pesan-pesan media ataupun mempunyai pengalaman dan perhatian terhadap pesan tersebut yang dapat terjadi pada individu atau kelompok (Surahman, 2016). Menurut penulis, ada beberapa penyebab dan contoh dari penonton dapat terpengaruh oleh terpaan media massa adalah sebagai berikut:

  • Isi pesan yang disampaikan relate atau memiliki keterkaitan dengan kehidupan atau berpengaruh bagi si penonton. Sebagai contoh, seorang penonton yang merupakan buruh dan menonton media massa televisi akan pemberitaan bahwa pemerintah mengesahkan omnibus-law atau UU Cipta Kerja. Jika media massa televisi tersebut menggiring opini penonton pada arah negatif dari pemerintah dengan hanya memunculkan sebagian isi di mana yang tidak disukai atau dianggap merugikan si penonton (dalam hal ini buruh), maka penonton akan terpengaruh oleh terpaan media massa tersebut dan menggiring opini penonton menjadi kurang baik akan kinerja pemerintah,
  • Terpaan pesan media massa yang terus menerus menyebabkan pesan tersebut diterima khalayak sebagai pandangan yang disepakati secara bersama (Junaidi, 2018). Contohnya; pesan media massa televisi hamper di semua stasiun mengenai “Ingat Pesan Ibu” selama masa pandemi Covid-19 yaitu menerapkan 3M untuk menekan dan mencegah penularan Covid-19 di antaranya menggunakan masker yang bersih dan sesuai standar, menjaga jarak aman minimal 1-2 meter, dan mencuci tangan secara berkala. Pesan dari “Ingat Pesan Ibu” yang serentak di banyak stasiun TV tayangkan memberikan efek sekaligus terpaan kepada khalayak untuk menerapkannya.

Alasan penting untuk memahami literasi media dan menjadi melek media (media literate), yaitu:

  • Melek media (media literate) dapat mengajak khalayak dan pengguna media untuk menganalisis isi pesan yang disampaikan suatu media, misalnya media massa koran, sehingga masyarakat dapat mengetahui tujuan suatu pesan tersebut dilontarkan. Hal ini juga sependapat dengan penelitian Ardianto, Komala, & Karlinah (2017, hal. 222) yang menyatakan bahwa melek media diperlukan untuk mempertimbangkan tujuan komersial dan politik dibalik suatu citra atau pesan media, dan meneliti siapa yang bertanggungjawab atas pesan atau ide yang diimplikasikan oleh pesan atau citra itu.
  • Dengan memahami media literacy, seorang audiens media massa akan berusaha memberikan reaksi serta menilai sebuah pesan media dengan penuh kesadaran dan rasa tanggung jawab (Sari, et al., 2015, hal. 158). Hal ini menunjukkan bahwa tanggapan yang diberikan berupa komentar oleh pengguna media memiliki nilai dan isi yang sesuai sasaran. Komentar yang disampaikan dapat dipertanggungjawabkan oleh pemberi komentar, sehingga komentator dapat memperhatikan nilai kebenaran isi komentarnya.
  • Literasi media mendorong munculnya pemikiran kritis dari masyarakat terhadap program-program yang di sajikan media, literasi media menungkinkan terciptanya kemampuan untuk berkomunikasi secara kompeten dalam semua bentuk media, lebih bersikap proaktif dari pada reaktif dalam memahami program-program media (Silverblatt, Smith, Miller, Smith, & Brown, 2014, hal. 18).

Salah satu contoh aktual dari efek media massa dalam perpektif Teori Kultivasi, misalnya; menyoroti media massa televisi (khususnya antara TV One) pada pemilu 2014 untuk pemilihan Presiden dan Wakil Presiden masa jabatan 2014-2019. Pada masa ini, terdapat 2 calon pasangan yaitu Prabowo-Hatta dan Jokowi-JK. TV One menyajikan pesan berupa memenangkan Prabowo-Hatta. Hal ini didasarkan pada lembaga survei yang memenangkan Prabowo-Hatta, yaitu diantaranya JSI (Jaringan Suara Indonesia), PUSKAPTIS, LSN (Lembaga Survei Nasional), dan IRC (Indonesia Research Center) (Kurniawan & Naldi, 2019). Selain itu, TV One menyajikan pesan yang seakan-akan framing dari Jokowi-JK kurang baik. Hal ini terlihat dari TV One yang menyoroti kasus-kasus yang berkaitan dan melibatkan Jokowi, seperti korupsi TransJakarta, KTP palsu Jokowi, serta ditambah lagi dengan video wawancara JK yang tidak setuju Jokowi menjadi capres dan kemacetan akibat kampanye Jokowi (Kurniawan & Naldi, 2019). Selain itu, perlu diketahui bahwa pemilik TV One merupakan salah satu pimpinan partai pengusung Prabowo-Hatta, sehingga pemberitaan akan Prabowo-Hatta memiliki porsi yang lebih banyak.


Jika dilihat dari perspektif teori Kultivasi, masyarakat yang memiliki kuantitas terbesar dalam menonton TV One dapat terpengaruhi atau mendapatkan efek dari isi pesan yang disampaikan. Semakin tinggi kuantitasnya, maka semakin besar juga efek yang diterima. Namun, perlu diperhatikan bahwa efek yang diterima oleh setiap penonton memiliki kuantitas dan kualitas penerimaan yang berbeda. Hal ini dipengaruhi oleh banyak faktor, misalnya; kondisi ekonomi, jenis kelamin, pekerjaan, dan faktor lainnya. Sebagai contoh, seorang dari Jakarta yang selama ini kurang mendapat perhatian dari pemerintah dan dalam kondisi ekonomi rendah, akan berpikir bahwa isi pesan yang disampaikan media massa tersebut sangat sesuai dan menggiring opini orang tersebut untuk semakin “kurang menyukai” akan Jokowi-JK. Hal ini disebabkan karena sebelumnya Jokowi adalah Gubernur Jakarta dan orang tersebut adalah orang Jakarta yang kurang diperhatikan. Secara kumulatif, isi pesan media massa menggiring opini orang tersebut ke arah yang semakin “tidak menyukai” Jokowi. Ini merupakan salah satu perspektif dari teori Kultivasi.


Padahal, jika dilihat dari realitanya, kemenangan pemilu tersebut adalah Jokowi-JK, di mana 7 dari 11 lembaga survei memenangkan Jokowi-JK, sedangkan TV One hanya melihat 4 dari 11 lembaga survei saja yang menunjukkan kemenangan Prabowo-Hatta. Berdasarkan teori kultivasi, terlihat bahwa TV One dapat menggeser opini menjadi opini moderat.


Berdasarkan pemaparan di atas, sangat jelas sekali bahwa isi pesan media massa memiliki dampak atau dapat dikatakan berdampak kepada khalayak sebagai penonton. Terpaan isi pesan media massa dapat mempengaruhi publik baik dalam sisi positif maupun negatif.


Implikasi hoax sebagai kebutuhan bagi pengguna media siber dalam mengonsumsi informasi atau berita dianggap wajar. Masyarakat media siber telah terbiasa dengan segala teks yang cenderung hoax, sehingga sulit membedakan mana yang benar mana yang bohong. Menurut pandangan penulis, hal-hal yang sebaiknya dilakukan masyarakat ketika mengalami kesulitan untuk percaya atas kebenaran sebuah berita, yaitu:

  • Masyarakat harus memastikan asal usul atau sumber berita. Untuk menguji hal ini, dapat menggunakan pertanyaan berikut; “Dari mana berita yang saya baca? Apakah yang menuliskan berita dari sumber yang terpercaya? Apakah sumber berita jelas dan ditulis lengkap? Apakah sumber berita tersebut berasal dari instansi pemerintah resmi? Atau apakah itu berasal dari website yang resmi dan terpercaya?” Pertanyaan-pertanyaan ini dapat membantu masyarakat untuk mengetahui asal usul atau sumber berita. Sebaiknya, masyarakat memilih berita yang berasal dari instansi pemerintahan yang resmi, media jurnalis yang secara periodik mengedarkan karya jurnalistiknya, atau penulis dari berita tersebut dikenal secara baik dalam dunia akademisi maupun pemerintahan. Juditha (2018) dalam jurnal ilmiahnya juga menjelaskan bahwa masyarakat harus cerdas dalam melihat sumber berita mengenai kejelasan atau tidaknya.
  • Masyarakat dapat menguji kebenaran isi berita dengan membandingkan atau menambah bahan bacaan berita lainnya dari sumber yang berbeda namun sumber yang juga kredibel. Misalnya; menerima berita A di media massa X, maka untuk memastikan dapat menggunakan media massa Y, dan Z untuk melihat kebenaran berita A tersebut. Adanya media siber, membuat berita mudah dinikmati atau dibaca oleh masyarakat luas secara cepat, murah dan banyak sumber media jurnalisnya. Hal ini dapat menjadi sisi positif dari media siber yang semakin luas dan dapat diakses cepat. Jika dari berbagai sumber yang kredibel dibandingkan serta memperoleh kesimpulan yang sama, maka berita tersebut dapat dipercaya. Hal ini juga senada dengan pendapat Juditha (2020) bahwa hoaks menyesatkan bagi pembaca yang tidak kritis terhadap informasi dan membagikan berita yang dibaca kepada pembaca lainnya tanpa melakukan kroscek kebenaran.
  • Memahami isi berita dengan benar dan sesuai konteksnya untuk mengurangi pemahaman yang tidak komprehensif. Banyak masyarakat menyebarkan atau menginformasikan suatu berita hanya dari judul berita. Judul berita belum tentu menjelaskan isi berita secara komprehensif, sehingga sangat penting dalam memahami isi berita dan mengkritisi isi beritanya. Hal ini perlu diperhatikan karena judul berita dibuat seringkali untuk memicu khalayak untuk membacanya. Liestyasari, Nurcahyono, Astutik, & Nurhadi (2020) mempertegas dalam diskusi penelitiannya bahwa ketika sudah menerima berita ataupun informasi dari media masyarakat harus membaca dan memahami hingga selesai, dan jangan hanya membaca judul dari pemberitaan tersebut.

Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa masyarakat harus menjadi masyarakat yang cerdas dalam memahami berita yang diterima dengan memperhatikan sumber berita tersebut, menguji isi berita dengan membandingkan dari sumber yang berbeda, serta memahami isi berita secara komprehensif dan bukan sekadar judul saja. Hal ini seharusnya membantu masyarakat ketika mengalami kesulitan untuk percaya atas kebenaran sebuah berita.

IV. PENUTUP

Berdasarkan pembahasan yang sudah dituliskan, penulis dapat menyimpulkan sebagai berikut:

  • Isi media massa secara umum terdiri dari berita (news), opini (views), dan iklan (advertising). Namun, bagian isi media massa yang sering atau dikenal oleh masyarakat luas adalah berita. Secara singkat, isi pesan berita dapat mempengaruhi khalayak melalui kekuatan terpaan yang disampaikan.
  • Terpaan isi pesan media massa tentu memberikan dampak positif dan negatif, di mana dampak ini dapat memberikan efek atau pengaruh kepada khalayak.
  • Masyarakat harus menjadi masyarakat yang cerdas dalam memahami berita yang diterima dengan memperhatikan sumber berita tersebut, menguji isi berita dengan membandingkan dari sumber yang berbeda, serta memahami isi berita secara komprehensif dan bukan sekadar judul saja.

 

DAFTAR PUSTAKA

Ardianto, E., Komala, L., & Karlinah, S. (2017). Komunikasi Massa: Suatu Pengantar (Revisi ed.). Bandung: Simbiosa Rekatama Media.

Baran, S. J., & Davis, D. K. (2012). Mass Communication Theory: Foundations, Ferment, and Future. Boston, USA: Wadsworth.

Harnita, P. C. (2017). Masihkah Perlu Khalayak Belajar Literasi Media? Jurnal Cakrawala, 6(1), 117-136. Diambil kembali dari https://ejournal.uksw.edu/cakrawala/article/view/1291

Juditha, C. (2018). Hoax Communication Interactivity in Social Media and Anticipation. Jurnal Pekommas, 3(1), 31-44.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun