Mohon tunggu...
Andreas Nofrino Apur
Andreas Nofrino Apur Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pelajar

Saya adalah orang baik

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Perempuan juga manusia

4 Desember 2024   15:57 Diperbarui: 4 Desember 2024   15:57 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Idealnya perempuan memiliki hak dan kesempatan yang setara dengan laki-laki. Banyak pelanggan hak yang dialami perempuan atau merugikan banyak perempuan, seperti kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), kekerasan seksual, upah lebih rendah, hingga kurangnya akses pendidikan dan layanan kesehatan yang memadai. Selama puluhan tahun atau bahkan ratusan tahun, gerakan hak perempuan berkampanye menghapus aturan, perilaku, stigma, dan tradisi yang tidak berpihak pada perempuan. Gerakan perempuan telah berkembang di era digital, seperti kampanye global #MeToo yang menyorot kekerasan berbasis gender, termasuk kekerasan seksual dan juga #sahkanRUUpenghapusankekerasanseksual yang mendesak aturan penghapusan kekerasan seksual di Indonesia. 

Kekerasan seksual termasuk salah satu jenis kekerasan berbasis gender. Kekerasan seksual adalah penyerangan terhadap seksualitas seseorang tanpa persetujuan orang tersebut. Kekerasan seksual menimbulkan rasa tidak nyaman dan memposisikan korban sebagai objek, bukan manusia dan kehendak atas tubuh, pikiran dan tindakan sendiri.

Pelaku kekerasan seksual tidak terbatas gender dan hubungan dengan korban. Artinya, tindakan berbahaya ini bisa dilakukan oleh siapa saja kepada siapa pun termasuk isteri atau suami, pacar, orang tua, saudara kandung, teman, kerabat dekat, hingga orang tak dikenal. Kekerasan seksual bisa terjadi dimana saja, baik tempat kerja, tempat umum, sekolah atau kampus. Meski siapapun bisa menjadi korban kekerasan seksual, perempuan paling banyak menjadi korban. Anggaran bahwa perempuan inferior karena jenis kelamin dan gender mereka menyebabkan perempuan lebih banyak menjadi korban kekerasan seksual.

Seringkali perempuan menjadi subjek diskriminasi berbasis gender di tempat kerja. Misalnya, kesenjangan upah. Gaji yang sama untuk pekerjaan yang sama adalah hak asasi manusia. Tetapi perempuan berkali-kali ditolak aksesnya ke upah yang adil dan setara. Saat ini, rata-rata perempuan di dunia hanya memperoleh sekitar 77% dari penghasilan laki-laki untuk pekerjaan yang sama. Hal ini menyebabkan kesenjangan ekonomi bagi perempuan, bisa menghambat perempuan untuk mandiri secara utuh, bahkan meningkatkan resiko kemiskinan di kemudian hari.

Dilansir dari laman yayasan pulih kekerasan berbasis gender disebabkan oleh ketidakadilan gender dan penyalahgunaan kewenangan akibat ketimpangan kuasa dari konstruksi gender yang tidak setara. Gender pelaku dan penyintas mempengaruhi motivasi kekerasan dan bagaimana masyarakat merespon atau mengecam kekerasan tersebut. Siapapun bisa menjadi korban kekerasan berbasis gender termasuk laki-laki. Tetapi dalam konteks ini baik fisik maupun seksual perempuan paling banyak menjadi korban.

Secara fisik kekerasan berbasis gender bisa mengakibatkan luka atau bahkan hilangnya nyawa. Selain itu, pelaku kekerasan berbasis gender juga bisa menyebarkan penyakit menular seksual, kehamilan yang tidak diinginkan, aborsi yang tidak aman atau keguguran. Dari segi psikis, peristiwa traumatis dapat mengakibatkan depresi, ketakutan, gangguan stress pasca trauma, menyakiti diri sendiri atau sadisnya bunuh diri. Ditambah lagi, korban seringkali harus menanggung konsekuensi sosial dan ekonomi, dengan adanya stigma dan penolakan dari keluarga atau masyarakat. Di berbagai komunitas, korban kekerasan berbasis gender juga dipaksa menirukan adegan pelakunya.

Dampak kekerasan seringkali bertahan lama pada korban, baik secara fisik, psikologis maupun sosial ekonomi. Konsekuensi dan relevansi kekerasan berbasis gender menunjukkan bahwa kekerasan berbasis gender hanya pelanggan hak asasi manusia, tapi juga masalah kesehatan masyarakat. Negara bertanggung jawab melindungi perempuan dari kekerasan berbasis gender, bahkan kekerasan dalam rukun tetangga (RT) secara tertutup sekalipun.

Kesetaraan gender dan perlindungan hak perempuan merupakan kunci pembagunan berkelanjutan, pertumbuhan ekonomi serta perdamaian dan keamanan. Ketika masalah ketidaksetaraan gender seperti terbatasnya akses pendidikan dan pekerjaan bisa diatasi oleh negara, kesehatan otomatis meningkat. Semua negara bisa menikmati buahnya. MELINDUNGI HAK PEREMPUAN MENCIPTAKAN DUNIA LEBIH BAIK. 

Dengan memperjuangkan kesetaraan gender, kita bisa menghapus kekerasan berbasis gender, menghapus kekerasan berbasis gender hingga menghentikan perdagangan manusia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun