Yup, judul di atas saya akhiri dengan tanda seru. barangkali akan diganti Admin, judulnya saya tulis "Agama Tidak Membuat Orang Lebih Baik!".
Mungkin Anda marah atau tidak setuju dengan tulisan ini, tetapi saya punya mengalaman. Dan pengalaman itu yang hendak saya tuliskan di sini.
Bermula dari saya tadi baca tulisan Kompasianer Amisryah tentang perilaku orang yang rajin beribadah dan selalu melekat simbol-simbol agama, tetapi perilakunya jauh dari perbuatan baik apalagi perbuatan mulia: Rajin Ibadah Tetapi Tidak Jujur. Tulisan tersebut menyoroti dua contoh yang dilihat dan disaksikan sendiri oleh penulisnya di lingkungan kantor tempatnya bekerja. Orang yang terlihat seperti orang soleh dari penampakan luarnya, ternyata perilakunya sama sekali tidak mencerminkan hal itu. Seolah dosa itu relatif terhadap kepentingannya sendiri, tidak bersinggungan dengan ajaran agama yang dianut atau pun yang dijalankannya.
Well, saya kira apa yang diungkapkan oleh Amirsyah itu benar dan banyak terjadi. Bukankah kita telah melihat bagaimana mantan Menteri Agama negara ini telah dihukum penjara karena korupsi? Bukankah kita telah melihat bahwa anggota DPR telah dipidana karena korupsi pengadaan Alquran? Alquran? Ya, Alquran! Kitab yang seharusnya suci dan diikuti oleh pelaku korupsi itu. Alih-alih mematuhi, mereka malah menjadikan proyek pengadaan kitab yang seharusnya suci itu jadi ajang melakukan dosa.
Demikian juga dengan mantan menteri agama Suryadharma Ali yang ditetapkan jadi tersangka karena korupsi dana haji. Well, biar tidak ada yang sewot bahwa saya tidak mengedepankan azas praduga tidak bersalah karena SDA baru tersangka, saya akan jelaskan. Tetapi, keyakinan saya bahwa SDA memang akan masuk bui. Hal ini juga diperkuat oleh rekam-jejak KPK yang tidak pernah salah dalam menetapkan orang jadi tersangka. Oleh karena itu, saya dapat pastikan bahwa SDA telah melakukan tindakan melawan hukum sewaktu dirinya menjabat sebagai menteri agama. Dan perbuatan melawan hukum yang dilakukannya malah menyangkut hal yang paling "suci". Tugasnya yang harusnya membuat orang "mencapai" surga, malah dia sendiri memilih jalan ke "neraka". Bepata paradognya bukan?
Ini benar-benar paradog yang terjadi di lingkungan kita, di masyarakat. Bahwa pemahaman agama tidak membuat orang jadi makin baik, setidaknya dari apa yang saya amati. Jika di atas dan di tulisan Amirsyah itu digambarkan perilaku koruptif, lain lagi pengalaman saya. Pengalaman saya justru memperlihatkan bagaimana orang dengan simbol-simbol agama itu justru jauh dari terpuji, apalagi mulia. Saya kasih sebagaia contoh pengalaman saya terkait orang yang penuh simbol agama tetapi malah menistakan (?) agama atau manusia.
Beberapa tahun lalu, pengalaman saya di Bus Transjakarta. Seorang wanita umur sekitar 35 tahun, masuk ke dalam bus Transjakarta di jalan Sudirman. Wanita ini mengenakan pakaian hitam ala Arab, menutup kepala hingga kaki, kecuali wajah. Ya, hanya wajah yang tidak ditutup karena tangan dan kaki tertutup dengan sarung tangan dan kaos kaki. Pakainnya sangat gombrong, bukan jilboobs. Di dalam bus, dia seperti kesulitan mendapatkan tempat yang nyaman baginya, sehingga saya berinsiatif memberikan tempat berdiri saya baginya, sehingga yang bersangkutan dapat berdiri lebih nyaman dengan pegangan yang lebih nyaman pula. Dia pun dapat lebih nyaman di sana karena dapat pegangan dan bisa menyandarkan diri ke pipa tiang penyanggah pegangan di dalam bus. Dia tentu layak bersykur dan mengucapkan terima kasih kepada saya karena saya telah memberikan dia tempat yang lebih baik dibandingkan waktu dia baru masuk yang mana dia tergoyang ke kiri ke kanan ke depan ke belakang karena goyangan bus.
Tetapi apa nyanya, yang saya dapati dia malah seolah tidak tahu arti terima kasih. Ketika bus bergoyang sehingga saya pun bersengolan dengannya, yang terjadi adalah, dia memandang saya penuh sinis. Entah apa yang ada di pikirannya, seolah kebersenggolan tersebut karena saya sengaja. Yang bersangkutan sampai harus mengibaskan pakaiannya bagian yang saya kena bersenggolan tadi, tentu di depan mata saya. Perasaan saya cukup sakit karena setelah saya memberi tempat kepadanya, saya malah mendaptkan hinaan seperti itu. Andai dia tidak saya berikan tempat, pasti lebih parah lagi persenggolan yang dirasakannya.
Di waktu yang lain, seringkali saya melihat orang yang penuh dengan retorik agama, melakukan tindakan yang sama. Simbol-simbol agama yang dimilikinya (atau yang dikenakannya) membuatnya seolah menjadi lebih tinggi dari orang lain. Alih-alih mengajak bicara, memandang pun seolah penuh kehinaan. What a heck! Saya tidak hidup darinya, saya tidak mengemis darinya, makan pun saya tidak darinya. Yang terjadi malah saya yang sering menyumbang ketika sekelompok orang di jalan meminta bantuan dana untuk pembangunan tempat ibadah. Tetapi, identitas saya yang "tidak seperti" mereka rupanya telah cukup bagi mereka untuk memberi penilaian akhir bahwa saya lebih rendah dari mereka. Kata kafir yang terlontar sambil telunjuk mengarah ke saya pun seringkali terjadi. Memang dilakukan anak-anak, tetapi mengapa tidak ada orang dewasa yang melarangnya? Apakah kalau saya kafir berarti saya lebih rendah dari mereka atau mereka menjadi lebih tinggi dari saya karena agama mereka?
Itulah sekelumit contoh betapa agama tidak membuat orang menjadi lebih baik, melengkapi tulisan dari Amirsyah tadi. Agama hanya membentuk identitas, bukan membuat orang lebih baik. Jika ada orang dengan agama X dan dia adalah orang yang baik, saya dapat pastikan bahwa kebaikannya bukan karena agamanya, tetapi karena dia memang telah terlahir sebagai seorang yang baik. Andai orang tersebut menganut agama Y dari lahir, dia pasti tetap jadi orang baik. Atau, andai orang tersebut bahkan tidak memiliki agama seperti yang kita kenal saat ini pun, orang itu tetap akan jadi orang baik. Singkatnya, agama tidak mengubah orang jadi orang baik. Agama hanya membuat identitas, bukan membentuk kepribadian.
Jadi, wajarlah kalau di negara ini yang katanya setiap warga negaranya wajib menganut salah satu agama walau dia tidak yakin dengan agama apa pun, ternyata tidak membuat bangsa ini lebih beradab. Pejabat yang penuh simbol agama, ternyata korupsinya pun sama penuhnya dengan simbol agama yang dikenakannya tadi. Dan itu pun jawaban terhadap mengapa tanggung jawab pribadi di Jepang dan di Korea misalnya, lebih tinggi dari pada di Indonesia, negara yang katanya diisi oleh manusia-manusia yang bertuhan. Di Jepang, seseorang yang gagal menjalankan tugas dapat melakukan tindakan harakiri sebagai pertanggungjawaban pribadi atas kegagalannya. Di Korea, lebih kurang sama. Orang yang dituduh korupsi akan segera mengundurkan diri, tanpa banyak alibi. Hasilnya, mereka jauh lebih baik dari bangsa ini, bangsa yang penuh dengan pertentangan dan pertikaian karena agama.