"Wow, this is just news. Ini baru berita". Demikian terlontar dari mulut saya ketika saya membaca tuisan Meilanie Buitenzorgy di sini. Tulisan itu mengupas tuntas tertang sosok Dwi Estiningsih, kader PKS yang telah membuat heboh jagat perpolitikan nusantara raya karena tuduhannya bahwa BUMN telah berlaku diskriminatif terhadap para perempuan/wanita berjilbab. Entah siapa yang mencurinya, saya tak tau. Yang pasti, kader PKS yang satu ini (dan juga seperti para kader dan murabi yang lain) sepertinya telah kehilangan kemaluannya, sudah tidak memiliki rasa malu lagi.
Dengan latar belakang pendidikan yang setengah mentereng, semestinya Sang Kader yang satu ini mestinya paham bagaimana berucap dan berperilaku yang beretika. Saya gunakan kata beretika untuk mengganti kata santun, kata yang semestinya berkonotasi positif, tetapi sekarang ini telah berubah menjadi konotasi negatif semenjak kata atau sifat itu diklaim oleh SBY sebagai milik pribadinya, yang membuat saya bahkan tidak mau disebut memiliki sifat dan karakter yang santun. Seorang Estiningsih dengan gelar M.Psi, mestinya paham apa itu psikologi. M.Psi, setahu saya adalah Master Psikologi, Master of Psychology, master dalam bidang psikologi atau kejiwaan. Tetapi, gelar itu sepertinya tidak ada artinya dalam kehidupan Estiningsih. Entahlah saya salah, mungkin saja memang bahwa M.Psi-nya Estiningsih adalah Master of Psychopath, masternya psikopat, sehingga perilakunya seperti seorang yang mendidap penyakit psikopat. Estiningsih gemar menyakiti hati banyak orang tanpa merasa bahwa dia merasa bersalah. Bahkan, ada kecenderugan meresa dirinya puas kalau sudah memperlakkukan orang lain sesuai kehendaknya.
Dwi Estiningsih dalam berbagai pose dengan jilbab syar'i (foto: Kompasiana.com)
Gambar di atas, adalah gambar Estiningsih, Sang Kader PKS, dengan jilbab dalam berbagai pose. Di antara pose itu, terlihat mengenakan jilbab yang dimasukkan ke dalam blazer atau jas partainya. Menurut pandangan saya yang mengagumi kecantikan wanita, dua pose dengan blazer itu jauh lebih rapi dibanding dengan pose yang pakaian coklat (yang paling kiri). Saya berbicara pasal kerapian busana, bukan wajah. Anda jangan salah menafsirkan saya. Anda salah, nanti saya suruh mak Lampir mengejar Anda.
Sebagaimana kita tahu bahwa Estiningsih ini menuduh bahwa BUMN berlaku diskriminatif karena adanya persyaratan bahwa ada kewajiban bagi orang yang berjilbab, jilbab wajib sebahu atau dengan kata lain, jilbabnya harus dimasukkan ke dalam blouse jika panjang. Posisi front liner seperti teller dan recepcionist memang selalu dipilih yang berpenampilan menarik. Makanya orang yang wajahnya pas-pasan, jangan harap Anda bisa masuk ke bagian itu, tak akan diterima. Alih-alih membuat orang senang dan tertarik, yang terjadi malah sebaliknya, orang akan ill feel alias merasa hilang selera dan pergi. Hanya wajah macam wajah Gatot Swandito yang bisa masuk ke bidang ini, wajah yang menurut pengakuan subjektifnya yang belum terverifikasi wajahnya tampan nan menawan, menurut kalangan sangat terbatas, istri dan dirinya! Atau Pakde Kartono, seorang Kompasianer yang tidak pernah lelah mengklaim dirinya berwajah tampan. Bahkan, mungkin, sebaiknya Pakde Kartono pun tidak usah melamar atas pertimbangan usia yang sudah ujur termakan usia tidak perlu melamar ke sana.
Ngemeng-emeng masalah wajah, saya jadi punya dugaan liar atas sebab-musabab tuduhan Estiningsih ini. Dengan tidak bermaksud merendahkan, saya perhatikan wajah Estingsih ini kan menakutkan. Lihatlah foto-foto. Lihatlah tatapan mata dan tirus wajahnya. Apa tidak terlihat menakutkan?
Saya khwatir, jangan-jangan Estiningsih ini pernah melamar jadi front liner di salah satu BUMN, dan yang bersangkutan ditolak. Penolakan bisa saja karena apa saja, tetapi jika melamar front liner, dugaan penolakan paling masuk akal adalah karena wajahnya yang tidak menarik dan bahkan menakutkan mirip mak Lampir, khas wajah emak-emak usia menjelang lima puluhan. Atas tertolaknya yang bersangkutan, maka dicarilah alibi untuk pembenar kemarahannya, katanya BUMN telah diskiriminatif terhadap perempuan berjilbab syar'i, mirip demo FPI yang menolak Ahok jadi gubernur DKI, katanya karena Ahok bukan seorang muslim, tidak sesuai dengan syar'i. Padahal, yang sebenarnya adalah karena Ahok tegas menolak kompromi dan persekongkolan seperti yang bisa dilakukan gubernur sebelumnya. Alasan syar'i dicari-cari atas kegagalan mereka.
Oalah, kenapa ya mereka itu kehilangan kemaluan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H