Pada 300 SM, Epikuros pernah merumuskan kegelisahannya tentang Tuhan. Kalau Tuhan itu ada, dari manakah datangnya bencana? Kalau Ia sungguh-sungguh ada, Mahakuasa, Mahabaik, dan Mahatahu, mengapa Ia tidak campur tangan untuk mencegah berbagai pengalaman hidup yang buruk dan mengerikan itu? (Kleden, 2007).
Pertanyaan sang cendekiawan Yunani kuno, rupa-rupanya selalu terulang oleh bangsa manusia hingga hari ini. Tuhan selalu menjadi fakta yang dipersoalkan dalam kepasrahan. Di kala hilang harapan, dalam situasi batas, dan ketika rasionalitas tak mampu menepis krisis hidup, Dia adalah sandaran terakhir. Tuhan adalah tempat pelarian sekaligus gugatan final kala situasi menjadi tak menentu.
Persis di ranah ini, sadar atau tidak, kita melakukan hal serupa. Sebagai bangsa religius, gugatan terhadap eksistensi Tuhan akibat rentetan peristiwa kemanusiaan yang tak kunjung berakhir, merupakan sesuatu yang murah meriah. Kita mempertanyakan eksistensi Tuhan, memperkarakan kemaharahiman-Nya tetapi di saat bersamaan, kita seakan mengingkari keilahian dalam kemausian kita.
Bukankah kita adalah “cerminan Allah”, memiliki sifat-sifat keilahian dalam diri? Sudah sejauh mana kita menarasikan keilahian diri kita dalam kontekstualisasi iman yang transformatif? Sejauh mana sifat-sifat Allah (kasih sayang, murah hati, lemah lembut, damai, pemelihara, bijaksana) yang teremanasi dalam diri, dipraksiskan?
Di tengah silih bergantinya badai duka kemanusiaan, kita “mengadili” Tuhan. Kita persis Epikuros. Mempertanyakan-Nya adalah dalih dan sikap apologetis atas semua ketakutan terhadap tuntutan tanggung jawab untuk “mengusahakan dan memelihara taman dunia (bumi)” (bdk. Kejadian, 2:15)
Beraneka macam bencana mengepung tatanan hidup manusia. Mulai dari Pandemi Covid-19, kecelakan Sriwijaya Air, tanah longsor di Sumedang, banjir di Kalimantan Selatan dan gempa di Sulawesi Barat. Yang kita “baca” dari rentetan peristiwa ini adalah tentang “teguran Tuhan” bukan menelisik seluruh kegagalan atas tanggung jawab kemanusiaan kita.
Kita memaafkan “kerapuhan dan kelalaian” manusiawi dengan cara mempertanyakan kemaharahiman Allah: mempertanyakan eksistensi-Nya. Kita tak ubahnya dengan menyalahkan kerikil kecil saat terantuk ketimbang menegur diri atas kekurang hati-hatian sendiri.
Maka ketimbang mempersoalkan “bencana sebagai teguran Tuhan”, beragam kenyataan krisis hidup mestinya menghantar kita pada sharing pengalaman rohani yang lebih mendalam, yang sesungguhnya berakar pada kemanusiaan kita daripada menggugat Tuhan.
Membicarakan tujuan hidup, menyadari kerapuhan sehingga butuh penyertaan Tuhan, bertanya apa yang Tuhan kehendaki pada hidup sejak awal penciptaan adalah lebih urgen dan esensial. Karena dari konteks inilah, manusia akan disadarkan kembali akan fenomena dan makna sesungguhnya sebuah krisis kehidupan. Kesadaran ini akan membawa kembali manusia ke ihwal awal penciptaan, merenungkan kepercayaan Pencipta menghadirkannya di bumi dan kepercayaan penyerahan seluruh ciptaan lain ke dalam “kuasa manusia”.
Tentu, di balik semua ini, sesungguhnya ada pertanyaan besar yang perlu disematkan. Apa peran (pembelajaran) agama-agama bagi manusia? Tak dipungkiri, konsen agama-agama adalah intens mempertanyakan hakikat Tuhan. Siapa itu Tuhan? Seakan-akan eksistensinya dapat dipenjarakan dalam satu-dua rumusan belaka.
Dalam bahasa yang sedikit ekstrim, agama hanya mengobral tentang hal-hal transendental tetapi tidak mampu menyelami rahasia Ilahi dalam terang realitas kehidupan nyata. Di sini peran agama “tak lebih dari obat penghibur batin tanpa pesan pembebasan bagi umat manusia” (J.B Metz). Agama-agama mengajarkan tentang Tuhan tetapi seringkali gagal menekankan apa yang dikehendaki Tuhan di dalam dunia. Di sini terjawab. Tidak ada kehendak buruk dari Tuhan untuk dunia. Tuhan menginginkan dunia ini menjadi lebih baik, dijaga dan dirawat. Dan perspektif demikian diajarkan dengan sangat ketat oleh agama manapun.
Sayangnya agenda tersebut tidak dibaca secara baik dan dengan penuh sadar oleh pengikutnya. Bahkan seringkali atas nama surga, orang tak tanggung-tanggung “menjadi Tuhan” terhadap yang lain. Atas nama surga, orang menghabisi hidup sesamanya. Padahal perkara “surga yang nanti” (eskatologis) sebetulnya tidak lain adalah usaha membuat dunia ini menjadi lebih surgawi.
Maka ketika krisis-krisis kemanusiaan hadir di tengah tatanan hidupnya, sangat tidak layak manusia menggugat Tuhan. Melalui akal budi mestinya kesalehan ronahi dinarasikan dengan baik ke dalam kesalehan sosial. Itu adalah hal yang melekat dalam diri manusia sedari awal terutama saat mulai memahami pengetahuan yang benar dan yang salah.
Namun kenyataan yang dihadirkan adalah antroposentrisme naïf yang mengangkangi panggilan nurani (hati, suara hati) yang kemudian menjadi legitimasi egoisme-narsistik akan pengagungan “ke-aku-an” ketimbang bersimpuh dengan rendah hati di hadapan semesta.
Konsep ke-aku-an memang lumrah jika menukil kata-kata Francis Fukuyama dalam The End of History and The Last Man. Bahwa dasar penggerak sejarah manusia adalah “perjuangan untuk diakui.” Ditarik ke dalam berbagai krisis global dan lokal, tak dipungkiri lagi merupakan akibat dari perlombaan manusia untuk mendapat pengakuan dari sesamanya, pengakuan dari bangsa lain, pengakuan dari negara lain.
Nafsu untuk “diakui” inilah menghilangkan kesadaran akan nilai intrinsik ciptaan lain bahkan nilai kemanusian sendiri. Nilai solidaritas terhadap seluruh ciptaan atau semesta teralienasi dari kapasitas nurani.
Kesadaran bahwa seluruh ciptaan berharga di mata Tuhan raib oleh nafsu pragmatis-materialistik. Menjarah bumi tanpa batas seolah ia adalah mesin yang tak pernah berhenti berproduksi adalah tindakan yang bisa sama-sama dimaklumi.
Maka, bencana dalam bentuk apapun adalah peluang berharga manusia merefleksikan masa lalunya dan mempertanyakan eksistensi dan esensinya di masa depan. Bukan sebaliknya memperkarakan Sang Pencipta.
Juga, bukan berfokus hanya pada bagaimana mengatasi ancaman bencana –terlebih dengan cara menggugat Tuhan- melainkan merumuskan dunia macam apa yang ingin manusia bentuk dan tinggali sesudahnya. “Perjuangan untuk diakui” kini harus diterjemahkan dalam praksis yang positif: saling berlomba menjadi saudara bagi seluruh ciptaan. Menjadi saudara melampaui sekat perbedaaan.
Bencana harus membawa kita pada metanoia sosial dan mengubah direksi kesalehan pribadi naïf ke arah pertumbuhan global. Bukan ke arah perpecahan, pengotak-kotakkan tetapi kesetiakawanan global menuju keadaban baru.
Dengan kata lain, menukil Bambang Sugiharto, bencana mestinya membenturkan manusia kembali pada persoalan eksistensial dasar. Manusia tak hanya hidup berdasarkan teknologi dan data. Hidup dan perilakunya terutama dikelola berdasarkan makna. Kualitas keadabannya ditentukan oleh bagaimana secara reflektif kita memaknai kehidupan; cara berpikir, cara bersikap, dan nilai-nilai apa yang diprioritaskan di tengah semesta.
Senada dengan harapan di atas, Ensiklik Fratelli Tutti turut menggarisbawahi tanggapan Paus Fransiskus atas krisis kemanusiaan yang menjangkiti dunia, yakni kesenjangan ekonomi, kapitalisme, politik identitas, peperangan, radikalisme, terorisme, pandemi Covid-19, berita bohong (hoaks) dan sebagainya. Jalan utama mengatasi seluruh krisis kemanusiaan ini adalah kembali kepada manusia.
Bagaimana caranya? Pembangunan persaudaraan dan persahabatan sosial adalah urgensi. Itulah undangan Paus Fransiskus kepada dunia. Jalan inilah akan menyelamatkan kita semua. Ini adalah kesempatan kolektif untuk naik ke level kesadaran-nilai lebih tinggi yaitu kemampuan kerjasama global dalam kreativitas yang saling peduli.
Dengan begitu, Tuhan tidak perlu digugat di kala bencana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H