Indonesia menganut sistem demokrasi Pancasila. Sistem ini telah memberikan kebebasan untuk berpendapat, berserikat, dan berkumpul (Pasal 28 UUD 1945). Dan ini kiranya menjadi penting karena selaras dengan prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia, dalam mana juga merupakan hak seseorang untuk bergabung atau keluar dari suatu kelompok secara sukarela.
Sejarah telah mengajarkan kita untuk menganut sistem demokrasi secara tepat. Kita telah bergerak dari sistem demokrasi terpimpin, sistem parlementer, dan sistem demokrasi Pancasila, dan era reformasi dengan sistem banyak partai seperti sekarang ini. Dan sistem demokrasi Pancasila telah mengajarkan bagaimana bangsa ini harus berdemokrasi secara benar.
Lahirnya banyak partai berarti memberikan banyak ruang untuk mengekspresikan kebebasan. Ini berarti bahwa partai-partai sejatinya memiliki ruang yang terbuka dan bebas untuk berpendapat. Â Di sana ada ruang untuk berbeda satu sama lain. Dan dalam perbedaan itu, kemudian ada pula ruang untuk mencari dan menemukan kesamaan yang berdasarkan prinsip keadilan, kebenaran, dan kejujuran.
Namun demikian, semua kiranya sebatas fatamorgana. Prinsip kebebasan tidak mendapatkan ruang sebagaimana mestinya. Ini terbukti dengan sangat kasat mata, manakala ada perbedaan yang bertentangan dengan mereka yang membesarkan partai atau mereka yang memiliki kedudukan-kedudukan strategis dalam kepartaian.
Atau dengan perkataan lain, tidak boleh berbeda pendapat dengan mereka yang telah berjasa terhadap partai atau mereka yang memiliki kedudukan penting dalam kepartaian. Kalau demikian adanya, masih layakkah partai-partai yang berasaskan demokrasi menyebut dirinya partai? Karena partai dari terminologinya bisa juga berarti bersenang-senang (pesta), tetapi bukan ditekan kebebasannya oleh orang atau kelompok tertentu.
Sudah sangat jamak kita mendengar gagasan-gagasan dalam partai dengan ide "tegak lurus" atau lebih buruk lagi "hak prerogatif" dalam diri ketua partai. Prinsip ini berarti tidak boleh berbeda, harus sama, selaras, seide, dan segagasan, sehingga berbeda pendapat berarti musuh yang harus dijauhi. Tak jarang mereka yang berbeda pendapat kemudian dikucilkan atau bahkan "dikeluarkan" dari partai yang bersangkutan.
Lebih buruk dari itu harus dikatakan bahwa prinsip "tegak lurus" dan "hak prerogatif" bahkan sama halnya dengan prinsip diktator yang mencederai prinsip demokrasi. Ini sangat beralasan mengingat keduanya hanya memberikan ruang yang semu dalam berdemokrasi, padahal pada kenyataannya tidak demikian.
Prinsip "tegak lurus" karena kesepakatan yang dibangun bersama setelah membuka ruang untuk boleh berbeda, kiranya tidak menjadi soal. Tetapi prinsip "tegak lurus" karena kesepakatan dalam "ruang gelap" oleh sebagian orang yang kemudian dipaksakan seolah-olah menjadi konsensus partai, Â kiranya perlu dilawan karena bertentangan dengan prinsip demokrasi.
Lebih buruk dari itu adalah prinsip "hak prerogatif, yang digunakan sebagai "senjata" ampuh untuk menekan kebebasan berpendapat bagi anggota partai. Bahkan ada pula yang mengagung-agungkannya sehingga dalam praktiknya telah mengorbankan banyak anggota partai yang nota bene adalah kader potensial dari partai tersebut.
Ini layaknya dihilangkan dari sistem kepartaian di negara ini mengingat orang-orang yang memiliki hak ini telah menganggap dirinya sebagai "manusia setengah dewa" dalam mana kebenaran adalah milik mereka dan orang lain pasti salah kalau bertentangan dengan si pemegang hak tersebut.