Kita sudah amat jamak dengan yang namanya "penjilat" atau "orang yang suka menjilat". Secara umum kita memahaminya sebagai upaya dari seseorang untuk mencoba memenangkan hati orang-orang tertentu yang memiliki kekayaan atau status sosial/politik dengan menyanjung mereka agar memperoleh hal-hal tertentu yang mereka harapkan seperti materi, popularitas, atau kedudukan tertentu.
Arti yang sama dengannya adalah perayap, antek, penjilat, tukang poles apel, tukang menjilat, tukang suap.
Pada prinsipnya tindakan menjilat berarti bahwa seseorang merendahkan dirinya sebagai tanda penghormatan kepada orang tertentu dan bersamaan dengannya  bertingkah seolah-olah tidak memiliki harga diri (murahan).
Dalam konteks sosial/politik/kerja, tindakan menjilat (penjilat) dapat kita sebut sebagai sebuah "keterampilan". Ini amat beralasan karena memang seseorang harus memiliki kesanggupan untuk merendahkan diri sendiri, memuji, atau mendekati orang yang berkuasa demi mendapatkan keuntungan pribadi, seperti jabatan, pengakuan, atau imbalan material. Dan pada dasarnya, tingkat kemampuan ini bisa berbeda-beda atau sangat tergantung dari individu dan situasi yang sedang dihadapi.
Patut kiranya diapresiasi mereka yang sangat "ahli" dalam menjilat. Mereka biasanya sangat paham kapan harus memuji, kapan harus menggunakan kata atau bahasa apa, atau kapan harus menunjukkan sikap apa pada situasi dan waktu yang seharusnya.
Namun demikian ada juga individu yang memiliki kemampuan menjilat yang lebih rendah. Mereka ini biasanya masih dalam tahap belajar sehingga akan terlihat canggung atau terlalu terang-terangan dalam mencari perhatian. Biasanya atas apa yang mereka buat atau katakan akan terlihat berlebihan, sehingga niatnya menjadi terlalu jelas atau akan dianggap tidak tulus. Mereka boleh kita sebut sebagai "amatiran".
Sejatinya harus dipahami bahwa kemampuan menjilat dianggap sebagai praktik yang kurang atau bahkan tidak etis. Dikatakan demikian karena cenderung memprioritaskan hubungan pribadi dibandingkan kompetensi yang seharusnya  menjadi hal yang utama dalam menjalin relasi personal, sosial/politik, atau pekerjaan.
Memang dalam ruang lingkup kerja atau sosial/politik, praktik ini dapat menjadi norma yang dianggap wajar. Orang-orang yang memiliki kemampuan menjilat yang tinggi biasanya lebih cepat mendapatkan promosi atau penghargaan. Namun demikian, ini menjadi wujud dari ketidakjujuran, yang akan berdampak pada penyesalan karena telah memberikan kepercayaan kepada orang yang salah.
Menjilat juga membawa keuntungan jangka pendek demi kepentingan sesaat juga. Namun demikian hal ini dapat merugikan budaya kerja yang sehat dan meritokrasi. Atau dengan perkataan lain arus dipahami bahwa kesuksesan seharusnya berdasarkan kemampuan dan kontribusinya, bukan pada kemampuannya untuk menyanjung demi imbalan tertentu.
Kiranya kita memiliki harga diri dalam ketulusan dan kejujuran serta lebih mengutamakan kompetensi daripada harus merendahkan dan mempermalukan diri sendiri. Kiranya tidak ada dusta dalam relasi satu dengan yang lainnya dalam kebersamaan hidup.Â
Jika yang yang terjadi adalah ketiadaan harga diri dalam kepalsuan dan kepurapuraan, maka yang sedang terjadi adalah tindakan menjilat. Ini layak disebut penjilat, alias si tukang jilat sebagai tindakan murahan untuk menutupi ketidakkompetensian diri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H