Secara biologis, darah merupakan unsur fundamental dalam tubuh manusia. Seseorang yang kurang darah akan tampak pucat, lesu, dan kurang bergairah. Perlahan-lahan orang yang demikian akan mati karena kekurangan dan kehabisan darah.
Dalam konsep Perjanjian Lama, darah (Yunani: hama) dihubungkan dengan kepasrahan yang hikmat kepada Allah akan hidup yang diserahkan, dipersembahkan, dan berubah. Im 17:1 mengaitkannya dengan "nyawa" makhluk yang ada dalam dan di dalam darahnya. Darah juga dihubungkan dengan pendamaian yang diperoleh lewat kematian korban.
Perjanjian Baru menghubungkannya dengan "darah Kristus". Dengan mengurbankan/menumpahkan darah, Kristus menyerahkan hidup-Nya untuk memperdamaikan Allah dengan manusia, dan sebaliknya, manusia dengan Allah. Ini dapat dikaitkan pula dengan gagasan dalam Surat Rasul Paulus kepada Jemaat di Efesus, di mana Kristus sebagai Kepala Tubuh (Suami) menyerahkan hidup-Nya bagi Gereja (istri).
Dari uraian di atas menjadi teranglah hubungan antara cinta dan darah. Dengan mencintai berarti menyerahkan dan mempersembahkan hidup bagi orang yang dicintai. Atau dengan perkataan lain dapat dikatakan bahwa mencintai berarti menghidupkan. Demikianlah ra'a bere harus dimengerti sebagai sebuah komitmen untuk memberikan hidup yang menghidupkan bagi orang yang dicintai. Mencintai berarti mau membahagiakan dan menghidupkan.
Cinta dalam Realitas Masa Kini
Dewasa ini kita bisa melihat atau mendengar bahwa dengan mudahnya orang mengatakan, "I love you, ja'o ra'a bere ne'e gau, aku mencintaimu". Kata cinta diucapkan dengan mudah dan gampangan saja. Akhirnya, ungkapan cinta yang gampangan ini tidak berbuah dalam praksis hidup sehari-hari. Dengan demikian kata cinta kehilangan artinya yang mendalam.
Ini diperparah lagi dengan realitas hidup berkeluarga di mana katanya keluarga dibentuk atas dasar saling mencintai satu sama lain. Tak jarang kita melihat atau bahkan mengalami sendiri bahwa orang yang saling mencintai memperlakukan satu sama lain dengan semena-mena atau bahkan tidak manusiawi.
Korban utama dari realitas ini adalah wanita atau istri. Mereka diperlakukan semena-mena lewat beragam tindakan yang tidak terpuji seperti pemukulan, makian, dan beragam diskriminasi serta eksploitasi lainnya. [1]
Hal lain yang kerap disaksikan terjadi pula terhadap anak-anak yang katanya lahir sebagai buah cinta dari kedua orang tua yang saling mencintai. Tak jarang anak yang katanya lahir dari cinta itu ditelantarkan dan diperlakukan dengan kasar.
Mereka kurang atau bahkan tidak mendapatkan perhatian dan cinta yang memadai. Mereka bertumbuh bak sebatang pohon di hutan belantara, yang tumbuh tanpa perhatian dan kasih yang menumbuhkan dan mendewasakan.
Aneh rasanya bila kita menghubungkan kedua realitas ini dengan cinta dalam gagasan hati dan darah di atas. Bila cinta lahir dari inti terdalam diri manusia, dan mencintai berarti memberi seluruh diri bagi yang dicintai, kok terjadi diskriminasi, eksploitasi, dan pengobyekan terhadap orang yang dicintai? Bila mencintai berarti memberi seluruh diri dan menghidupkan orang yang dicintai, mengapa ada penelantaran terhadap orang yang dicintai? Bukankah ini sebuah pengkerdilan dan pematian yang perlahan?