Sebagai warga negara, saya merasa teramat risi mendengar beragam kasus intoleransi yang terjadi di negara ini. Kasus terbaru adalah pembubaran ibadah doa rosario yang dilaksanakan oleh perkumpulan mahasiswa di Tangerang Selatan pada Rabu (8/5/2024), yang diduga berawal dari provokasi yang dilakukan oleh Ketua RT setempat.
Kasus ini telah menggugah atensi publik, teristimewa oleh warga negara yang menganut agama minoritas. Pada kenyataannya, kasus ini telah melahirkan kecemasan dan ketakutan karena merasa terancam sebagai warga negara dalam menjalankan kewajiban-kewajiban agamanya.
Walaupun negara telah menjamin kebebasan beribadah melalui konstitusi, tetapi kenyataannya praktek-praktek intoleransi masih kerap terjadi negara ini. Pertanyaannya bukan kepada negara tetapi kepada sesama warga negara.
Sebagai sesama warga negara, mengapa hal yang demikian bisa terjadi dan masih kerap terjadi di negara yang tercinta ini? Masihkah warga negara ini memiliki sikap toleransi?
Bagi saya, toleransi bukan sekedar konsep tetapi sejatinya adalah sikap dan perilaku, yang mewujud dalam hidup bersama dengan sesama warga negara yang beragama dan berkeyakinan lain.
Kita tentu paham bahwa kata "toleransi" berasal dari bahasa Latin, yaitu tolerare yang artinya menahan diri, bersikap sabar, membiarkan orang berpendapat lain, dan berhati lapang terhadap orang-orang yang memiliki pendapat berbeda.
Toleransi merupakan sikap saling menghargai tanpa membedakan gender, suku,agama, ras, budaya, kemampuan, atau pun penampilan. Contohnya seperti menghargai pendapat yang berbeda, juga saling menolong antar sesama manusia tanpa memandang suku, ras, agama, dan antar golongan.
Makna dari toleran sendiri adalah bersifat atau bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dan sebagainya) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri.
Dalam konteks NKRI yang secara faktual hidup di tengah keberagaman, tiap-tiap individu diharuskan memiliki sikap toleransi agar dapat tetap berdampingan.
Ini berlawanan dengan sikap intoleransi yang dapat menimbulkan konflik yang berujung pada perpecahan atau keretakan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Intoleransi merupakan ketiadaan tenggang rasa, yang pastinya berbanding terbalik dengan toleransi.
Â
Datanglah ke Bajawa
Bagi saya secara pribadi, untuk mendapatkan contoh dan bukti dari sifat dan sikap toleransi, maka perlu kiranya datang dan belajar dari masyarakat Bajawa. Di kota dingin yang terkenal dengan kopi Bajawa ini, kita akan menyaksikan secara kasat mata setiap umat beragama dapat hidup berdampingan tanpa sifat dan sikap intoleran.
Ini sudah berlangsung lama, dan bukan saja dalam konteks hidup antar umat beragama saja tetapi juga berlaku untuk keberagaman suku, ras, dan budaya.
Di tengah kota akan kita jumpai bangunan gereja dan masjid yang berdampingan, yang dalam praksisnya menjadi simbol keberagaman dan serentak pula simbol toleransi antar umat beragama.
Di kota ini akan sangat jarang kita jumpai sikap atau tindakan diskriminasi, tetapi sebaliknya sikap dan perilaku saling menghargai satu sama lain, sehingga semua agama, suku, ras, dan budaya dapat hidup sebagai sau
dara/i sebagai warga negara.Menurut hemat saya, jika siapapun dari warga negara yang belum paham dan tidak mampu bersikap dan berperilaku toleran, maka datanglah ke kota ini. Hidup dan berdialoglah dengan mereka, dan akan ditemukan kebenaran dari makna toleransi yang sesungguhnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H